Pages

Thursday, January 14, 2021

Cara Merawat Ingatan

Dokumentasi pribadi 


Bismillah.

Alhamdulillah. Saat saya tulis ini barusan sudah minum susu hangat dan sholat isya. Meskipun belum makan malam tapi setidaknya perutku sudah terisi.

Rasanya malas sekali makan nasi… padahal ada telur dadar bersama udang kecil. Hmm… mugkin karena kurang cabe makanya saya kurang bersemangat menikmati makanan. Padahal yak, cabe itu kan pedas. Tapi, kok suka bikin rindu. Ya, meskipun seharusnya saya bersyukur karena ada yang bisa dimakan. Bagaimana yang di luar sana, bahkan beras mereka pun tak punya.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Maafkan hambaMu ini yang kadang lalai dalam bersyukur.

Hari ini, kita mendapat dua kabar duka. Pertama, berpulangnya ke Rahmatullah ulama asal Madinah yang mengabadikan hidupnya di Indonesia yaitu Syekh Ali Jaber. Mungkin, saya adalah orang yang terlambat mengenalnya. Ia sering muncul di tv, namun saya jarang sekali menonton tv. Saya baru mengenal almarhum saat masyarakat Indonesia heboh karena kejadian penusukan alm. Syekh Ali Jaber oleh orang yang tak dikenal. Saat itu, banyak teman Whastaapp saya yang memasang status tentang dirinya. Disitu, saya pun mencari siapa itu Syekh Ali Jaber. Video ceramahnya memang banyak tersebar, namun saya sama sekali belum pernah mendapatkannya. Ya, mungkin karena selama ini saya hanya sering berlangganan ceramah ustad Adi Hidayat, Ustad Abdul Somad, Ustad Hannan Attaki, Ustad Das’ad Latif dan ustad-ustad lain yang popular di beranda dunia mayaku.

Di lain kesempatan, ketika bergabung dengan komunitas bisnis British Propolis, disitu saya kembali bertemu secara virtual dalam berbagai seminar online yang dilaksanakan oleh founder British Propolis, Ippho Santosa.

Syukur, almarhum meninggal saat dinyatakan negative covid-19 (sembuh dari virus viral). Meninggalnya benar-benar banyak membuat orang lain syok, tidak menyangka. Salah satu teman, seorang presenter TVRI Sulawesi Barat menulis caption dalam status videonya “Ramadhan tanpa Syekh Ali Jaber”. Saya pun refleks komen, bahwa kitapun belum tentu akan bertemu dengan ramadhan.

Ya, semoga saja masih diberi kesempatan. Aamiin.

Di beranda facebook maupun whatsApp, foto ucapan belasungkawa menghiasi beranda (kabar berita). Bisa dibilang, hampir semuanya mengunggah informasi tentang kepergian manusia pecinta Al-Qur’an itu.

Di video Deddy Corbuzier pun juga membahas tentang sosok alm. Syekh Ali Jaber. Raut wajah sedih tampak melekat pada manusia bertubuh kekar itu (akrab disapa om Deddy).

Beberapa tulisan pun, berseliweran di facebook… tentang ulama yang wafat berarti sumber ilmu juga menghilang. Yap, benar saja kehilangan ulama yang kaya ilmu tentang agama Islam akan mengurangi 1 sosok dalam penyebaran syiar Islam. Memang di Indonesia mayoritas muslim, namun karena kualitas iman, ilmu, amal yang berbeda sehingga penting ada sosok-sosok yang berperan dalam mengingatkan para manusia khilaf, pun termasuk saya.

Semoga saja, berpulangnya satu ulama akan disusul puluhan ulama baru yang beradab dan berilmu. Pun, kita sebagai insan yang mengaku Islam, sudah seharusnya memperkaya dan memperdalam wawasan keIslaman kita. Kadang sih, sering muncul pertanyaan dalam hati “sudah seberapa banyak pengetahuan Islam yang kamu tahu?”. Jangan-jangan bahwa pengetahuan dasar-dasar agama pun kita masih jauh di bawah standart. Sudah sepantasnya, kita menjadi wakil-wakil ulama untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Yap, ketika kita belum mampu mensejajarkan diri dengan para alim ulama.

Kepergian para ulama, menjadi nasehat tersendiri. Apa kontribusi kita pada Islam dan sudah seberapa bagus bekal kita menghadap Sang Illahi?

Masihkah kamu tidak percaya bahwa segala sesuatu akan mendapat balasan? Masihkah kamu ragu hingga membuat kamu sering menunda perintahNya dan menyegerakan laranganNya? Masihkah kamu malas-malasan dengan berlindung pada kata ‘nanti saja’. Padahal titik usia terus melaju pada angka batas hidup (final life).

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim…

Mampukan kami agar terus selalu berdoa, bersujud, memohon ampun PadaMu. Betapa celakanya kami, jika di hari kemudian kami berakhir pada tempat yang mengenaskan.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Setelah kabar duka kematian tersebut, lalu status whatsApp kembali heboh dengan guncangan gempa yang terjadi di laut Majene, Sulawesi Barat.

Mungkin, ini salah satu menjadi kekhawatiran orangtuaku agar tetap tinggal di rumah. Masalahnya, bisnis BPku berjalan lancar jika berada di kota kelahiran presiden ketiga. Selain itu, saya lebih focus beribadah PadaNya dan bisa aktif pada berbagai kegiatan ‘kesukarelawanan’.

Tetiba mataku mengantuk, saat tulisan seribu kataku ini baru di angka enam ratusan kata. Kipas Miyako terus berputar meskipun di luar kamar sedang turun hujan (gerimis). Mataku semakin berat saja dan mulai berkaca-kaca.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Sebelum sholat Isya tadi, sambil menunggu… saya membaca sebuah buku yang berjudul Happy Writing karya Andrias Harefa. Didalam bukunya, menarik sekali, bahwa ia memberikan definisi menulis yang berbeda dari kebanyakan orang. Saat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi menulis yakni (1) membuat huruf, angka; (2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang dan membuat surat) dengan tulisan; mengarang cerita; (3) menggambar, melukis; (4) membatik. Sedangkan Andrias menjelaskan bahwa definisi menulis yang benar adalah definisi yang mendorong kita menulis dan terus menulis. Ia menyebutnya definisi “emosional”. Ia memberikan contoh, misalnya bagi si A menulis itu adalah aktualisasi diri; bagi si B menulis adalah menafkahi diri; bagi si C menulis adalah soal mendesain dengan metodologi tertentu; bagi si D menulis adalah melepaskan beban-beban emosi negative. Katanya, sepanjang definisi menulis membuat Anda menulis maka itulah definisi yang benar.

Lalu, pertanyaanya… kapan kamu mau menulis? Lebih tepatnya kapan kamu mau berkomitmen menulis?

Apapun alasanmu dalam menulis, tulislah tulisan yang berfaedah… sekecil apapun faedahnya. Tak jarang saya menemukan komentar di whatsApp bahwa kata mereka saya pandai merangkai kata. Sejujurnya, itu hanya akibat dari latihan (pembiasaan menulis di waktu usia anak-anak). Saat itu, saya hobbi menulis diary. Isinya pun hanya seputar runtutan cerita sederhana tentang aktivitas apa yang saya lakukan dalam sehari itu. Sungguh, saya menulisnya pada waktu itu agar saya tidak lupa. Dan sepertinya, alasan itu masih melekat hingga sekarang.

Kenangan yang berlalu tapi dituliskan (diketikkan), rasa (feel) kenangannya akan masih terasa saat kita kembali membaca tulisan kita. Menariknya, orang yang membaca tulisan kita pun akan ikut merasakan feelnya. Meski di otak mereka akan bermunculan persepsi tentang diri penulis. Tapi, jangan pedulikan itu…. Selama yang kamu tulis, bukanlah tulisan yang mengandung komposisi hoax lagi menghinakan sesuatu hal.

Banyak yang bilang, tulisan akan membuat penulis abadi. Hmm… sepertinya belum tentu. Tapi, setidaknya biarkan tulisan mu menemui pembacanya. Biarkan rangkaian katamu memasuki otak kecilnya. Semoga saja, kita bisa saling menulis dan saling membaca agar kita bisa saling menginspirasi (saling mengingatkan) satu sama lain.

Karena pengamatanku yang terungkap melalui rangkaian kata, belum tentu sama dengan pengamatanmu. Bisa jadi, kamu mampu melihat sesuatu dari sisi yang berbeda meskipun objek kita sama. Lalu, katamu… Aku tak sepandai dirimu dalam merangkai kata? Kalau begitu cobalah.. lagi dan lagi. Sambil memperbanyak membaca tulisan orang lain agar memperkaya referensi ide.

Selamat mencoba. Dengan senang hati akan membaca tulisanmu, saudariku… sesama keturunan kakek Nabi Adam dan Nenek Hawa  J Terima kasih telah membacanya dari awal hingga akhir (tuntas). Maafkan jika ada yang tak berkenang di hati. Jika biasanya saya hanya mengupload di wattpad, kali ini saya publish juga di blog pribadi untuk diteruskan di grup facebook Rumah Literasi Perempuan Gelora Parepare. 

[Parepare, 14 Januari 2021 pukul 21:12 wita]

 

 


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Translate

"Beloved"

"Beloved"

Followers