Dokumentasi pribadi |
Bismillah.
Alhamdulillah. Saat saya tulis ini
barusan sudah minum susu hangat dan sholat isya. Meskipun belum makan malam
tapi setidaknya perutku sudah terisi.
Rasanya malas sekali makan nasi…
padahal ada telur dadar bersama udang kecil. Hmm… mugkin karena kurang cabe
makanya saya kurang bersemangat menikmati makanan. Padahal yak, cabe itu kan
pedas. Tapi, kok suka bikin rindu. Ya, meskipun seharusnya saya bersyukur
karena ada yang bisa dimakan. Bagaimana yang di luar sana, bahkan beras mereka pun
tak punya.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Maafkan
hambaMu ini yang kadang lalai dalam bersyukur.
Hari ini, kita mendapat dua kabar
duka. Pertama, berpulangnya ke Rahmatullah ulama asal Madinah yang mengabadikan
hidupnya di Indonesia yaitu Syekh Ali Jaber. Mungkin, saya adalah orang yang
terlambat mengenalnya. Ia sering muncul di tv, namun saya jarang sekali
menonton tv. Saya baru mengenal almarhum saat masyarakat Indonesia heboh karena
kejadian penusukan alm. Syekh Ali Jaber oleh orang yang tak dikenal. Saat itu,
banyak teman Whastaapp saya yang memasang status tentang dirinya. Disitu, saya
pun mencari siapa itu Syekh Ali Jaber. Video ceramahnya memang banyak tersebar,
namun saya sama sekali belum pernah mendapatkannya. Ya, mungkin karena selama
ini saya hanya sering berlangganan ceramah ustad Adi Hidayat, Ustad Abdul
Somad, Ustad Hannan Attaki, Ustad Das’ad Latif dan ustad-ustad lain yang popular
di beranda dunia mayaku.
Di lain kesempatan, ketika bergabung
dengan komunitas bisnis British Propolis, disitu saya kembali bertemu secara
virtual dalam berbagai seminar online yang dilaksanakan oleh founder British
Propolis, Ippho Santosa.
Syukur, almarhum meninggal saat
dinyatakan negative covid-19 (sembuh dari virus viral). Meninggalnya benar-benar
banyak membuat orang lain syok, tidak menyangka. Salah satu teman, seorang presenter
TVRI Sulawesi Barat menulis caption dalam status videonya “Ramadhan tanpa Syekh
Ali Jaber”. Saya pun refleks komen, bahwa kitapun belum tentu akan bertemu
dengan ramadhan.
Ya, semoga saja masih diberi
kesempatan. Aamiin.
Di beranda facebook maupun whatsApp,
foto ucapan belasungkawa menghiasi beranda (kabar berita). Bisa dibilang, hampir
semuanya mengunggah informasi tentang kepergian manusia pecinta Al-Qur’an itu.
Di video Deddy Corbuzier pun juga
membahas tentang sosok alm. Syekh Ali Jaber. Raut wajah sedih tampak melekat
pada manusia bertubuh kekar itu (akrab disapa om Deddy).
Beberapa tulisan pun, berseliweran
di facebook… tentang ulama yang wafat berarti sumber ilmu juga menghilang. Yap,
benar saja kehilangan ulama yang kaya ilmu tentang agama Islam akan mengurangi
1 sosok dalam penyebaran syiar Islam. Memang di Indonesia mayoritas muslim,
namun karena kualitas iman, ilmu, amal yang berbeda sehingga penting ada
sosok-sosok yang berperan dalam mengingatkan para manusia khilaf, pun termasuk
saya.
Semoga saja, berpulangnya satu ulama
akan disusul puluhan ulama baru yang beradab dan berilmu. Pun, kita sebagai
insan yang mengaku Islam, sudah seharusnya memperkaya dan memperdalam wawasan
keIslaman kita. Kadang sih, sering muncul pertanyaan dalam hati “sudah seberapa
banyak pengetahuan Islam yang kamu tahu?”. Jangan-jangan bahwa pengetahuan
dasar-dasar agama pun kita masih jauh di bawah standart. Sudah sepantasnya,
kita menjadi wakil-wakil ulama untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Yap,
ketika kita belum mampu mensejajarkan diri dengan para alim ulama.
Kepergian para ulama, menjadi
nasehat tersendiri. Apa kontribusi kita pada Islam dan sudah seberapa bagus
bekal kita menghadap Sang Illahi?
Masihkah kamu tidak percaya bahwa
segala sesuatu akan mendapat balasan? Masihkah kamu ragu hingga membuat kamu
sering menunda perintahNya dan menyegerakan laranganNya? Masihkah kamu
malas-malasan dengan berlindung pada kata ‘nanti saja’. Padahal titik usia
terus melaju pada angka batas hidup (final life).
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim…
Mampukan kami agar terus selalu
berdoa, bersujud, memohon ampun PadaMu. Betapa celakanya kami, jika di hari
kemudian kami berakhir pada tempat yang mengenaskan.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.
Setelah kabar duka kematian
tersebut, lalu status whatsApp kembali heboh dengan guncangan gempa yang terjadi
di laut Majene, Sulawesi Barat.
Mungkin, ini salah satu menjadi
kekhawatiran orangtuaku agar tetap tinggal di rumah. Masalahnya, bisnis BPku
berjalan lancar jika berada di kota kelahiran presiden ketiga. Selain itu, saya
lebih focus beribadah PadaNya dan bisa aktif pada berbagai kegiatan ‘kesukarelawanan’.
Tetiba mataku mengantuk, saat
tulisan seribu kataku ini baru di angka enam ratusan kata. Kipas Miyako terus
berputar meskipun di luar kamar sedang turun hujan (gerimis). Mataku semakin
berat saja dan mulai berkaca-kaca.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.
Sebelum sholat Isya tadi, sambil
menunggu… saya membaca sebuah buku yang berjudul Happy Writing karya Andrias
Harefa. Didalam bukunya, menarik sekali, bahwa ia memberikan definisi menulis
yang berbeda dari kebanyakan orang. Saat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
memberikan definisi menulis yakni (1) membuat huruf, angka; (2) melahirkan
pikiran atau perasaan (seperti mengarang dan membuat surat) dengan tulisan;
mengarang cerita; (3) menggambar, melukis; (4) membatik. Sedangkan Andrias menjelaskan
bahwa definisi menulis yang benar adalah definisi yang mendorong kita menulis
dan terus menulis. Ia menyebutnya definisi “emosional”. Ia memberikan contoh,
misalnya bagi si A menulis itu adalah aktualisasi diri; bagi si B menulis
adalah menafkahi diri; bagi si C menulis adalah soal mendesain dengan
metodologi tertentu; bagi si D menulis adalah melepaskan beban-beban emosi negative.
Katanya, sepanjang definisi menulis membuat Anda menulis maka itulah definisi
yang benar.
Lalu, pertanyaanya… kapan kamu mau
menulis? Lebih tepatnya kapan kamu mau berkomitmen menulis?
Apapun alasanmu dalam menulis,
tulislah tulisan yang berfaedah… sekecil apapun faedahnya. Tak jarang saya
menemukan komentar di whatsApp bahwa kata mereka saya pandai merangkai kata. Sejujurnya,
itu hanya akibat dari latihan (pembiasaan menulis di waktu usia anak-anak). Saat
itu, saya hobbi menulis diary. Isinya pun hanya seputar runtutan cerita
sederhana tentang aktivitas apa yang saya lakukan dalam sehari itu. Sungguh,
saya menulisnya pada waktu itu agar saya tidak lupa. Dan sepertinya, alasan itu
masih melekat hingga sekarang.
Kenangan yang berlalu tapi
dituliskan (diketikkan), rasa (feel) kenangannya akan masih terasa saat kita
kembali membaca tulisan kita. Menariknya, orang yang membaca tulisan kita pun
akan ikut merasakan feelnya. Meski di otak mereka akan bermunculan persepsi
tentang diri penulis. Tapi, jangan pedulikan itu…. Selama yang kamu tulis,
bukanlah tulisan yang mengandung komposisi hoax lagi menghinakan sesuatu hal.
Banyak yang bilang, tulisan akan
membuat penulis abadi. Hmm… sepertinya belum tentu. Tapi, setidaknya biarkan
tulisan mu menemui pembacanya. Biarkan rangkaian katamu memasuki otak kecilnya.
Semoga saja, kita bisa saling menulis dan saling membaca agar kita bisa saling
menginspirasi (saling mengingatkan) satu sama lain.
Karena pengamatanku yang terungkap
melalui rangkaian kata, belum tentu sama dengan pengamatanmu. Bisa jadi, kamu
mampu melihat sesuatu dari sisi yang berbeda meskipun objek kita sama. Lalu,
katamu… Aku tak sepandai dirimu dalam merangkai kata? Kalau begitu cobalah..
lagi dan lagi. Sambil memperbanyak membaca tulisan orang lain agar memperkaya
referensi ide.
Selamat mencoba. Dengan senang hati akan membaca tulisanmu, saudariku… sesama keturunan kakek Nabi Adam dan Nenek Hawa J Terima kasih telah membacanya dari awal hingga akhir (tuntas). Maafkan jika ada yang tak berkenang di hati. Jika biasanya saya hanya mengupload di wattpad, kali ini saya publish juga di blog pribadi untuk diteruskan di grup facebook Rumah Literasi Perempuan Gelora Parepare.
[Parepare,
14 Januari 2021 pukul 21:12 wita]
0 comments:
Post a Comment