Bismillah…
Alhamdulillah saat saya tulis ini raga sudah makan.
Sepotong kecil cokelat Kairo masih berusaha kukunyah dengan
pelan. Tadinya selepas magrib, saya ingin tidur karena disergap rasa ngantuk. Namun,
sang penguasa dapur menegur dan melarang tidur usai magrib. Akhirnya, saya
bangkit dari tempat tidur lalu menuju meja makan untuk mengisi perut minimalis
ini.
Ya, begitulah salah satu caraku untuk menghilangkan rasa
ngantuk. Setelah makan, lidah ini terasa ingin makan yang manis-manis lalu otak
ini mengingat sebuah cokelat yang terbungkus rapi tersimpan di salah satu rak
kulkas. Cokelat dengan rasa yang khas.
Saya berhenti sejenak, berpikir harus memulai cerita dari
mana.
***
Suara speaker masjid pukul empat dini hari sudah terdengar
pada indera pendengaran ini. Saya mencoba untuk tetap focus berusaha untuk
menyelesaikan sebuah video yang bertema tutorial memasak. Saat semuanya
rampung, saya mengekspor video yang sejak pukul 2 dini hari saya rangkai. Raga ini
bangkit dari tempat duduk, meninggalkan sebuah laptop yang masih berproses menyimpan
(rendering). Kuraih gawaiku dan memerhatikan isi beranda social media. Namun,
otakku berkata lebih baik tidur saja karena esok hari raga ini akan berjalan ke
tempat pelosok salah satu desa yang ada di kecamatan Ma’rang.
Saya masih mengingat dengan jelas pesan sang penguasa dapur
yang menyuruh untuk memasang kelambu anti nyamuk sebelum tidur. Namun, kupikir
karena jam tidur yang tersisa sedikit dan kedua kelopak mata yang mulai terasa
berat. Akhirnya, raga ini kubiarkan tertidur meski kulit akan diserang oleh
nyamuk-nyamuk lapar.
***
Kedua mataku seketika terbuka saat merasakan seseorang
sedang berjalan selurus dengan kakiku. Ia berucap, “jadi pergi?”. Saya segera
bangkit dari tidur lalu menjawab, “jadi”. Namun, setelah perempuan yang penuh
kasih sayang itu meninggalkan tempat tidurku, sepasang mata ini kemudian
melirik angka waktu pada gawaiku. Seketika kurebahkan kembali tubuhku sambil
bergumam dalam hati “masih 1 jam lebih”. Namun, belum beberapa menit raga ini
segera bangkit dari posisi ternyaman. Otak ini mengingat sebuah video yang
harus segera diupload.
Kuperhatikan benda 14 inc ku itu, kulihat layarnya mati. Padahal
seharusnya tak boleh mati, dikarenakan sebelum tidur saya sedang merender
sebuah video yang sudah deadline. Kulirik ujung adaptor, benar saja tak
tercolok. Hatiku seketika ingin bertanya pada sang penguasa dapur dengan rasa
yang sedikit kecewa. Namun, kutahan karena saya harus memastikan terlebih
dahulu. Siapa tau videonya telah selesai terender.
Kucari dengan saksama, namun saya tidak tau di mana
tersimpan. Benar saja, saat menyimpannya saya tidak memerhatikan lokasi penyimpanannya
secara pasti. Kutenangkan diri sejenak, sambil mencarinya dengan pelan. Akhirnya,
saya berhasil menemukan. Sebuah video yang bertuliskan herbal, kuklik dua kali
untuk segera menontonya.
Waktu janjian semakin dekat, kulihat video yang saya edit
punya 1 titik scene blur namun kuputuskan untuk tetap menguploadnya. Lalu menyebarkan
linknya pada sebuah grup lingkungan kerja.
Saya segera mematikan (power off) benda 14 inc ku itu. Lalu,
bergegas merapikan tempat tidur dan segera menyapu lantai. Setidaknya saya
harus tetap membantu sang penguasa dapur merapikan rumah meski tak sempat
membantunya memasak di bagian dapur. Setelah semuanya rapi, saya bergegas
menuju meja makan lalu mengambil sedikit nasi putih hangat lalu mengunyahnya
bersama beberapa bakso tadi malam. Meski dingin, tetapi tetap terasa lezat di lidah.
Saya mengunyahnya dengan pelan.
Tuntas pada makanan, saya bergegas menuju kamar mandi. Pikirku
tak ingin membuat temanku menunggu. Setalah mandi dan memakai pakaian yang
bernuansa biru dan ungu. Saya mengambil setumpuk cucian yang terletak di sudut
tempat tidur. Namun, sang penguasa dapur bernegosiasi, nanti saja katanya. Lebih
baik saya menyapu di halaman rumah katanya. Akhirnya, saya pun keluar mencari
sapu. Namun, belum tuntas mengumpulkan dedaunan yang berguguran…. Sang pemberi
nama Hayana berteriak memanggil dikarenakan gawaiku berdering. Pikirku, itu
pasti temanku. Dan benar saja sebuah panggilan whatsApp dari seorang kawan lama
di zaman putih abu-abu. Ia yang akan menjadi parnert berpetualang hari ini.
***
Sang pemberi nama Hayana bersedia mengantar raga ini keluar
ke pinggir jalan raya. Tempat dimana saya dan kawanku akan bertemu untuk memulai petualangan. Rasa was-was
sedikit mengganggu, mengusir rasa berani dikarenakan tempat yang kami akan
kunjungi kononnya merupakan tempat yang angker. Namun, hati ini selalu
kuarahkan untuk tetap percaya PadaNya bahwa niat yang baik akan berakhir dengan
situasi yang baik-baik pula.
Angin bertiup kencang saat kawanku mulai melaju dengan
kecepatan yang lumayan. Tangan kananku sempat keram sejenak. Ya, sering kali
saya terjebak pada situasi yang bikin nyeri itu. Namun, tidak butuh waktu yang
lama…. Rasa nyeri itu akan berakhir dengan perlahan.
Sebelum memasuki lorong kecil, kami memutuskan untuk
berhenti pada sebuah toko popular milik non WNI. Kawanku membeli air minum serta snack sedangkan saya membeli roti dan
keripik kentang. Keluar dari toko mata ini tertuju pada seorang manusia yang
terlihat tak terawat. Ia duduk sambil bercoleteh dengan tidak jelas. Hatiku bergumam,
kasihan sekali ia. Karena ia sama sekali tak menyadari dirinya. Ia hidup tapi
tak benar-benar hidup. Namun, di sisi lain saya juga melihatnya cukup beruntung
karena ia terbebas dari pantauan kerja malaikat Atid. Ya, orang gila memang
sudah dihentikan dosanya saat ia sudah kehilangan akal pikirannya. Rasa takut
padanya sempat muncul. Segera raga ini naik pada sebuah motor yang lumayan besar
lalu kemudian kami melanjutkan perjalanan kami.
***
Matahari bersinar terik, syukur saja helm dan masker
melindungi kepala dan wajah dari terpaan sinar ultra violet tersebut. Kawanku
memberi gawainya agar segera kurekam perjalanan ini. Maklum ia adalah youtuber
tentu moment baginya adalah konten. Sebenarnya pun sama dengan saya. Namun,
saya menjadikan sebagai bahan tulisan.
Gunung berdiri tegak, rentetan pepohonan menghiasi
perjalanan kami. Hati ini bertanya-tanya apakah perjalanannya akan jauh atau
dekat? Namun, segera saya kembali focus menikmati perjalanan dan mengabaikan
pertanyaan itu.
Setidaknya, jawabannya akan segera kudapatkan sendiri
setelah melaluinya. Tiba di lokasi parkir, sepasang manusia suami isteri dan
seorang keponakannya anak lelaki kecil juga berniat untuk ikut dengan kami. Tujuannya
sama yakni Telaga Biru.
Sebuah danau di
tengah hutan dengan warna air yang kalau dilihat sekilas bisa berwarna hijau
ataupun biru. Dengan langkah yang pasti, kami menyusuri jalan setapak. Beberapa
jalan sedikit menanjak dan suara khas hutan dapat terdengar jelas di telinga.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami sampai. Perasaan
hati-hati muncul saat kembali mengingat perkataan teman yang katanya tempat ini
angker. Meski begitu, hati ini tetap terpesona PadaNYa. Atas fenomena alam yang
terlihat tidak seperti biasanya. Sebuah pohon yang tumbang terlentang membelah
kolam alami itu. Kawanku berjalan di atas pohon itu lalu berpose mengabadikan
wajah dan latar alam itu.
Raga ini pun juga berjalan di atas pohon itu dan
mengabadikan momen yang beberapa bulan lalu sudah terlintas ingin kesini. Namun,
saat di tengah kolam… otak ini sempat berpikir bahwa kejadian buruk bisa saja
terjadi. Kaki bisa terpleset atau bahkan kayu tempat berpijak bisa jatuh ke
dalam air. Lalu bayangan film hewan buas dalam air segera memenuhi memori otak.
Segera kutepis, lalu berjalan dengan tenang.
Setelah puas mengabadikan wajah dengan berbagai pose. Tiga orang
pengunjung lain datang mendekati telaga. Mereka juga berpose. Sesekali saya
memerhatikan mereka bukan untuk menyudutkan hanya saja saya ingin mengambil
pelajaran dari mereka.
Tak berselang lama, sekelompok anak sekolah juga datang
menghampiri telaga ini. Uniknya, mereka semua berani melompat ke dalam telaga
yang katanya tidak boleh berenang di dalamnya. Namun, mereka dengan santainya
masuk ke dalam air.
Terlihat menyegarkan, meski mereka tak tau secara pasti
berapa meter kedalamannya. Kata mereka, telaga ini merupakan mata air yang tak
terukur kedalamannya. Bisa jadi saking dalamnya.
Lalu, ingatan kembali saat saya berada di tengah telaga itu
dengan bantuan pohon yang tumbang… Sungguh, cukup membuat hati merasa sedikit
khawatir.
Kesempatan mengunjungi telaga biru ini tetap disyukuri atas
segala penasaran yang selalu terlintas saat mendengar namanya. Siapa sangka
keinginan beberapa bulan yang lalu, akhirnya terwujud hari ini. Ya, memang…
keinginan tak harus terwujud di hari itu juga…. Kadang kala terwujudnya bisa esok atau lusa. Allah akan menunjukkan dengan
caraNya sendiri saat kamu dirasa pantas untuk mendapatkan keinginan itu.
Lalu,,,,,
Apa yang kamu inginkan viewers, sekarang?
Tenang, esok lusa bisa jadi terwujud. Tetap padukan ikhtiar
langit dan bumi yaaa.
Terima kasih telah membaca hingga tuntas. @hayanaaa
[Tanete, 8 Agustus 2021 pukul 20.31 wita]