Pages

Artikel (Kode Etik): Krisis Kejujuran Hasilkan Potensi Mahasiswa Bernilai Palsu

Artikel ini dibuat dalam rangka partisipasi mengikuti Dakom Award 2016. Lomba blog. Yuk, Baca Selengkapnya...

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare

STAIN Parepare merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri yang ada di kota Parepare. Yuk, Kunjungi Websitenya...

Mari Bersedekah

Yuk, lihat iklan video karya Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Parepare

filsafat islam

Ingin Menjadi Seperti Pohon

Mengapa inging menjadi pohon? Yuk, Baca selengkapnya

Sunday, August 8, 2021

Wujud Keinginan? Bisa jadi Esok atau Lusa

 


Bismillah…

Alhamdulillah saat saya tulis ini raga sudah makan.

Sepotong kecil cokelat Kairo masih berusaha kukunyah dengan pelan. Tadinya selepas magrib, saya ingin tidur karena disergap rasa ngantuk. Namun, sang penguasa dapur menegur dan melarang tidur usai magrib. Akhirnya, saya bangkit dari tempat tidur lalu menuju meja makan untuk mengisi perut minimalis ini.

Ya, begitulah salah satu caraku untuk menghilangkan rasa ngantuk. Setelah makan, lidah ini terasa ingin makan yang manis-manis lalu otak ini mengingat sebuah cokelat yang terbungkus rapi tersimpan di salah satu rak kulkas. Cokelat dengan rasa yang khas.

Saya berhenti sejenak, berpikir harus memulai cerita dari mana.

***

Suara speaker masjid pukul empat dini hari sudah terdengar pada indera pendengaran ini. Saya mencoba untuk tetap focus berusaha untuk menyelesaikan sebuah video yang bertema tutorial memasak. Saat semuanya rampung, saya mengekspor video yang sejak pukul 2 dini hari saya rangkai. Raga ini bangkit dari tempat duduk, meninggalkan sebuah laptop yang masih berproses menyimpan (rendering). Kuraih gawaiku dan memerhatikan isi beranda social media. Namun, otakku berkata lebih baik tidur saja karena esok hari raga ini akan berjalan ke tempat pelosok salah satu desa yang ada di kecamatan Ma’rang.

Saya masih mengingat dengan jelas pesan sang penguasa dapur yang menyuruh untuk memasang kelambu anti nyamuk sebelum tidur. Namun, kupikir karena jam tidur yang tersisa sedikit dan kedua kelopak mata yang mulai terasa berat. Akhirnya, raga ini kubiarkan tertidur meski kulit akan diserang oleh nyamuk-nyamuk lapar.

***

Kedua mataku seketika terbuka saat merasakan seseorang sedang berjalan selurus dengan kakiku. Ia berucap, “jadi pergi?”. Saya segera bangkit dari tidur lalu menjawab, “jadi”. Namun, setelah perempuan yang penuh kasih sayang itu meninggalkan tempat tidurku, sepasang mata ini kemudian melirik angka waktu pada gawaiku. Seketika kurebahkan kembali tubuhku sambil bergumam dalam hati “masih 1 jam lebih”. Namun, belum beberapa menit raga ini segera bangkit dari posisi ternyaman. Otak ini mengingat sebuah video yang harus segera diupload.

Kuperhatikan benda 14 inc ku itu, kulihat layarnya mati. Padahal seharusnya tak boleh mati, dikarenakan sebelum tidur saya sedang merender sebuah video yang sudah deadline. Kulirik ujung adaptor, benar saja tak tercolok. Hatiku seketika ingin bertanya pada sang penguasa dapur dengan rasa yang sedikit kecewa. Namun, kutahan karena saya harus memastikan terlebih dahulu. Siapa tau videonya telah selesai terender.

Kucari dengan saksama, namun saya tidak tau di mana tersimpan. Benar saja, saat menyimpannya saya tidak memerhatikan lokasi penyimpanannya secara pasti. Kutenangkan diri sejenak, sambil mencarinya dengan pelan. Akhirnya, saya berhasil menemukan. Sebuah video yang bertuliskan herbal, kuklik dua kali untuk segera  menontonya.

Waktu janjian semakin dekat, kulihat video yang saya edit punya 1 titik scene blur namun kuputuskan untuk tetap menguploadnya. Lalu menyebarkan linknya pada sebuah grup lingkungan kerja.

Saya segera mematikan (power off) benda 14 inc ku itu. Lalu, bergegas merapikan tempat tidur dan segera menyapu lantai. Setidaknya saya harus tetap membantu sang penguasa dapur merapikan rumah meski tak sempat membantunya memasak di bagian dapur. Setelah semuanya rapi, saya bergegas menuju meja makan lalu mengambil sedikit nasi putih hangat lalu mengunyahnya bersama beberapa bakso tadi malam. Meski dingin, tetapi tetap terasa lezat di lidah. Saya mengunyahnya dengan pelan.

Tuntas pada makanan, saya bergegas menuju kamar mandi. Pikirku tak ingin membuat temanku menunggu. Setalah mandi dan memakai pakaian yang bernuansa biru dan ungu. Saya mengambil setumpuk cucian yang terletak di sudut tempat tidur. Namun, sang penguasa dapur bernegosiasi, nanti saja katanya. Lebih baik saya menyapu di halaman rumah katanya. Akhirnya, saya pun keluar mencari sapu. Namun, belum tuntas mengumpulkan dedaunan yang berguguran…. Sang pemberi nama Hayana berteriak memanggil dikarenakan gawaiku berdering. Pikirku, itu pasti temanku. Dan benar saja sebuah panggilan whatsApp dari seorang kawan lama di zaman putih abu-abu. Ia yang akan menjadi parnert berpetualang hari ini.

***

Sang pemberi nama Hayana bersedia mengantar raga ini keluar ke pinggir jalan raya. Tempat dimana saya dan kawanku  akan bertemu untuk memulai petualangan. Rasa was-was sedikit mengganggu, mengusir rasa berani dikarenakan tempat yang kami akan kunjungi kononnya merupakan tempat yang angker. Namun, hati ini selalu kuarahkan untuk tetap percaya PadaNya bahwa niat yang baik akan berakhir dengan situasi yang baik-baik pula.

Angin bertiup kencang saat kawanku mulai melaju dengan kecepatan yang lumayan. Tangan kananku sempat keram sejenak. Ya, sering kali saya terjebak pada situasi yang bikin nyeri itu. Namun, tidak butuh waktu yang lama…. Rasa nyeri itu akan berakhir dengan perlahan.

Sebelum memasuki lorong kecil, kami memutuskan untuk berhenti pada sebuah toko popular milik non WNI. Kawanku membeli air minum  serta snack sedangkan saya membeli roti dan keripik kentang. Keluar dari toko mata ini tertuju pada seorang manusia yang terlihat tak terawat. Ia duduk sambil bercoleteh dengan tidak jelas. Hatiku bergumam, kasihan sekali ia. Karena ia sama sekali tak menyadari dirinya. Ia hidup tapi tak benar-benar hidup. Namun, di sisi lain saya juga melihatnya cukup beruntung karena ia terbebas dari pantauan kerja malaikat Atid. Ya, orang gila memang sudah dihentikan dosanya saat ia sudah kehilangan akal pikirannya. Rasa takut padanya sempat muncul. Segera raga ini naik pada sebuah motor yang lumayan besar lalu kemudian kami melanjutkan perjalanan kami.

***

Matahari bersinar terik, syukur saja helm dan masker melindungi kepala dan wajah dari terpaan sinar ultra violet tersebut. Kawanku memberi gawainya agar segera kurekam perjalanan ini. Maklum ia adalah youtuber tentu moment baginya adalah konten. Sebenarnya pun sama dengan saya. Namun, saya menjadikan sebagai bahan tulisan.

Gunung berdiri tegak, rentetan pepohonan menghiasi perjalanan kami. Hati ini bertanya-tanya apakah perjalanannya akan jauh atau dekat? Namun, segera saya kembali focus menikmati perjalanan dan mengabaikan pertanyaan itu.

Setidaknya, jawabannya akan segera kudapatkan sendiri setelah melaluinya. Tiba di lokasi parkir, sepasang manusia suami isteri dan seorang keponakannya anak lelaki kecil juga berniat untuk ikut dengan kami. Tujuannya sama yakni Telaga Biru.

 Sebuah danau di tengah hutan dengan warna air yang kalau dilihat sekilas bisa berwarna hijau ataupun biru. Dengan langkah yang pasti, kami menyusuri jalan setapak. Beberapa jalan sedikit menanjak dan suara khas hutan dapat terdengar jelas di telinga.

Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami sampai. Perasaan hati-hati muncul saat kembali mengingat perkataan teman yang katanya tempat ini angker. Meski begitu, hati ini tetap terpesona PadaNYa. Atas fenomena alam yang terlihat tidak seperti biasanya. Sebuah pohon yang tumbang terlentang membelah kolam alami itu. Kawanku berjalan di atas pohon itu lalu berpose mengabadikan wajah dan latar alam itu.

Raga ini pun juga berjalan di atas pohon itu dan mengabadikan momen yang beberapa bulan lalu sudah terlintas ingin kesini. Namun, saat di tengah kolam… otak ini sempat berpikir bahwa kejadian buruk bisa saja terjadi. Kaki bisa terpleset atau bahkan kayu tempat berpijak bisa jatuh ke dalam air. Lalu bayangan film hewan buas dalam air segera memenuhi memori otak.

Segera kutepis, lalu berjalan dengan tenang.

Setelah puas mengabadikan wajah dengan berbagai pose. Tiga orang pengunjung lain datang mendekati telaga. Mereka juga berpose. Sesekali saya memerhatikan mereka bukan untuk menyudutkan hanya saja saya ingin mengambil pelajaran dari mereka.

Tak berselang lama, sekelompok anak sekolah juga datang menghampiri telaga ini. Uniknya, mereka semua berani melompat ke dalam telaga yang katanya tidak boleh berenang di dalamnya. Namun, mereka dengan santainya masuk ke dalam air.

Terlihat menyegarkan, meski mereka tak tau secara pasti berapa meter kedalamannya. Kata mereka, telaga ini merupakan mata air yang tak terukur kedalamannya. Bisa jadi saking dalamnya.

Lalu, ingatan kembali saat saya berada di tengah telaga itu dengan bantuan pohon yang tumbang… Sungguh, cukup membuat hati merasa sedikit khawatir.

Kesempatan mengunjungi telaga biru ini tetap disyukuri atas segala penasaran yang selalu terlintas saat mendengar namanya. Siapa sangka keinginan beberapa bulan yang lalu, akhirnya terwujud hari ini. Ya, memang… keinginan tak harus terwujud di hari itu juga…. Kadang kala terwujudnya bisa esok  atau lusa. Allah akan menunjukkan dengan caraNya sendiri saat kamu dirasa pantas untuk mendapatkan keinginan itu.

Lalu,,,,,

Apa yang kamu inginkan viewers, sekarang?

Tenang, esok lusa bisa jadi terwujud. Tetap padukan ikhtiar langit dan bumi yaaa.

Terima kasih telah membaca hingga tuntas. @hayanaaa

[Tanete, 8 Agustus 2021 pukul 20.31 wita]

 -----

--

--

-

-

-

Karena Produk Full Faedah tidak boleh dirahasiakan :)

Pemesanan via Instagram @hayanaaa



Wednesday, August 4, 2021

Memang Sederhana

 


“Katanya ingin berangkat 7.30 wita, nyatanya masih berangkat di jam yang tak semestinya,” gumamku memprotes diri yang katanya ingin berubah tapi tetap saja begitu. Hmm… esok, sudah bisa. Seperti ketikan seribu kata ini yang telah menghilang sejak 30 hari (ah, kurasa lebih 30 hari).

Angin bertiup agak kencang, syukurnya di belakangku  seorang perempuan berkacamata menjadi pemberat. Akhirnya, roda duaku pun dapat kulaju agak cepat tanpa takut terbang terbawa angin. Maklum beratku lumayan ringan meski tak seringan layang-layang. Hehe.

Jika raga ini seorang diri maka tangan kanan takkan berani menarik kencang gas saat angin juga ikut bertiup kencang.

Sebenarnya keinginan untuk kembali menulis seribu kata ini sudah ada sejak beberapa hari ini, namun raga yang lelah efek perjalanan 40 km PP dan otak yang mulai malas akhirnya penundaan sering kali menjadi pembatas yang tak terlihat.

Kali ini takkan kubiarkan, entah bagaimana esok. Sebisa mungkin, hati ini ingin menyelesaikan komitmen menulis seribu kata perhari selama seratus delapan puluh hari berturut-turut. Sebuah komitmen yang digaungkan dalam hati dan otak, sejak tahun 2019.

Ya Allah, sudah tahun berapa ini?

Sudah tahun 2021, Hayana. Bagaimana mungkin, sampai sekarang belum bisa selesai-selesai.

Namun, readers… akibat tak selesai-selesai akhirnya saya punya banyak judul tulisan dan membukukan 2 berISBN. Bukankah ini menjadi bagian daripada hikmah? 

Hmmm…. Apakah ini bentuk pembelaanmu, Hayana. Ah, entahlah.

Hari ini, saya ingin bercerita tentang sesuatu yang sederhana.

Meski sederhana, tapi membuat saya sangat bersyukur.

Apa itu?

Begini ceritanya. Silahkan baca dengan pelan yakkk.

Mendekati pertengahan jalan menuju rutinitas hari ini, seorang perempuan naik motor scoopy dengan warna crem sesuai warna kesukaan Hayana, ia melaju melampaui dengan pelan. Hati ini sempat heran, mengapa pengendara itu terlalu dekat dengan posisiku saat ia melampaui. Warna khimar dan tasnya, masih jelas di ingatan. Ia melampaui tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Namun, saat ia berada di depan kendaraanku yang juga sedang melaju, saya seperti membaca isyarat yang ia tunjukkan padaku.

Kulihat ia sesekali memerhatikan kaca spion kanannya, lalu sesekali ia menyalakan lampu weser kirinya. Otak ini sempat heran, namun segera tangan ini mengecek tombol weser dan benar saja weser roda duaku sedang aktif, maka segera kunonaktifkan.

Ia kemudian melaju jauh lalu kulihat ia berbelok ke kanan arah pom bensin.

Sebuah doa baik kulangitkan untuknya sebagai  tanda rasa terima kasih untuk perempuan yang tak kukenali namun seperti telah menjadi kawan sejak saat itu.

Apa yang ia lakukan memang sangat sederhana. Namun, saya terpesona dengan kepeduliannya. Bisa saja ia tak peduli, namun dengan caranya yang unik memberi isyarat menyalakan lampu wesernya secara kedap-kedip membuat saya segera paham apa yang ia maksudkan.

Sebuah komunikasi nonverbal tanpa suara. Sederhana tapi menyentuh hati ini.

Jika setiap hati kita saling peduli kepada orang lain meski itu seputar hal-hal yang sederhana, rasanya dunia akan terasa indah meski pandangan mata tidak menangkap keindahan secara tampak.

Dunia tentu takkan terasa sesak dengan keegoisan yang semakin menjulang tinggi. Hmmm… benarkah? Entahlah readers. Semoga hati dan otak kita, selalu bisa memaknai hal-hal sederhana menjadi rasa yang penuh syukur dan membahagiakan.

Saya sangat paham, dunia semakin kompleks (rumit) dan bahkan terasa hampa bagi beberapa pemilik hati dan otak.

Ok, next…

Cerita sederhana kedua, dibantu.

Saya tak ingin menyebutkan satu persatu nama orang yang suka membantu Hayana. Namun, Insyaa Allah kelak saya akan bersaksi kepada Yang Maha Pembalas atas segala bantuan yang kalian lakukan. Bantuan hal-hal kecil namun sangat berdampak besar.

Ya, sesederhana itu cerita keduanya. Hehe.

Intinya, bantuan hal-hal kecil tetap saja lakukan pada orang lain. Bisa jadi hal kecil itu, justeru sangat berkesan dan sangat membantu.

Prinsipnya, “jika kamu suka dibantu, maka kamu mesti suka membantu orang lain terlebih dahulu”.

Ketahuilah bahwa saat kita membantu orang lain, memang tidak akan menjamin bahwa orang itu akan kembali membantu kita. Namun, Allah akan datangkan orang lain yang akan membantu kamu.

Bisa dibilang Membantu=Menolong.

Singkatnya, “kalau kamu suka ditolong, maka kamu juga mesti suka menolong” J begitu kata Hayana teduh. Hehe.

Cerita sederhana ketiga.

Saat raga ini kembali pulang dari rumah. Dengan pedenya saya merasa bensin kendaraanku ini akan sampai di pom bensin. Namun, belum sampai di pom bensin… kira-kira sekitar 2 km lagi, laju roda duaku mulai tersendat-sendat. Saya segera paham bahwa air minum roda duaku ini pasti sudah habis. Sebelum berhenti melaju, sepasang mata ini melihat sebuah toko kecil dengan jejeran botol bensin (mirip minyak kelapa tapi bukan). Hanya saja, saya berhenti agak jauh melewati toko kecil itu. Ingin kuputar arah lalu mendorong, namun raga ini tak sanggup mendorong roda dua itu melawan arah dengan arus yang lumayan padat. Akhirnya, saya berjalan kaki mendekati toko kecil itu. Seorang ibu-ibu berdaster orange dengan wajah yang ramah menyambut raga minimalis ini. Kukatakan padanya tentang perkiraanku yang meleset tentang bahan bakar roda duaku. Saya melihat roda duaku yang terparkir sekitar 100 meter dan berucap, “Sayapi bu pergi isi disana. Berapa harga sebotol bensin ta?”. Sebuah kalimat yang mengandung pernyataan dan pertanyaan.

Pernyataan untuk memudahkan ibu itu agar ia tak usah repot-repot berjalan ke sana dan kalimat pertanyaan menunjukkan bahwa sudah lama sekali saya tak pernah beli bensi botolan.

Namun, ia dengan wajah tersenyum… ia membawa botol berwarna kuning orange itu menuju roda duaku. Saya mengikutinya dari belakang. Jalannya agak pelan dan tanpa alas kaki. Sungguh, saya merasa tidak enak hati padanya.

Lalu, saya membukakan sadel dan penutup bensin rodaku. Ia kemudian bertanya tentang lokasi tujuanku lalu kujawab sambil menutup dangan ucapan terima kasih sambil senyum lebar meski ia tak bisa melihatnya dengan jelas karena senyum ini sedang tertutupi sebuah masker kain bermotif bunga.

Tapi, kurasa ia bisa melihat sepasang mata yang semakin menyipit mengisyaratkan sedang tersenyum.

Sayapun kembali melanjutkan perjalanan setelah membayar dagangannya.

Hal-hal sederhana yang mengandung kebaikan-kebaikan kecil seringkali luput dari rasa syukur kita.

Lalu, banyak fokus pada hal-hal kecil yang dikeluhkan dan menghasilkan rasa sesak dalam dada. Benar saja, kita semestinya harus cerdas bersyukur dan bodoh dalam mengeluh. Namun, ini memang bukan hal mudah meski terlihat mudah. Setan, jin dan sejenisnya tak suka kalau readers full bersyukur (selalu bersyukur setiap saat). Mereka akan mengacaukan otakmu lalu mengacaukan rasa syukurmu. Hingga yang tersisa hanya keluhan yang berujung pada kemarahan dan keputus asaan. Tentu, ini menjadi self reminder bagi readers terlebih lagi si pengetik (Hayana).

Menjelang mencukupi seribu kata, saya mengingat masih ada beberapa hal yang mesti dikerjakan. Hope, esok jari jemari ini masih bisa mengetik seribu kata di hari esok dengan cerita sederhana tapi bermakna.

Ya, maknanya memang sederhana  tapi semoga saja tetap menarik dan berfaedah. Sekecil apapun faedahnya. Terima kasih telah membaca hingga tuntas J Salam Sejuk, @hayanaaa.  [Tanete, 04 Agustus 2021 pukul 20.30 wita.

 _____

Eitss... karena produk full faedah tidak boleh dirahasiakan :)












 

 

 

Friday, July 2, 2021

Kata dari Viewers


 

Bismillah…

[Senin, 28 Juni 2021]

Sebenarnya kemarin saya ingin mengetik ini tapi karena ada satu amanah yang deadline. Jadinya saya memilih menunda ketikan ini.

Alhamdulillah, saat saya mengetik ini saya tidak kepanasan. Meski agak kurang nyaman karena saya mengetik ini tanpa meja yang biasa saya gunakan. Belum lagi punggung ini, tidak bersandar. Ya sudah kita abaikan itu dan terus mengetik saja.

Matahari bersinar cerah, meski saya tidak melihatnya sekarang. Udara terasa sejuk meski sedang tidak berada di puncak gunung. Ya, sekarang saya berada dalam ruangan berAc dengan warna dinding biru laut. Meski kemarin-kemarin saya merasa rindu pasir paputo, menyebut kata laut rindu itu kembali muncul.

Saat mengetik ini, saya sedang bersama 3 teman baruku. 2 orang asyik dengan gedgetnya dan 1 lagi asik dengan tidurnya (katanya sih habis dari vaksin). Sungguh, setiap orang itu seperti buku yang membawa pelajarannya masing-masing.

Baiklah, hari ini saya akan bercerita sesuai dengan request kata my viewers entah itu dari di Instagram maupun di WhatsApp.

Kata pertama, dari seorang berkacamata, ahli ambil gambar dan mengedit juga. Ia mengajukan kata Peduli. Saat membaca kata itu, yang terlintas malah instansi TV Peduli :D sebuah media pemerintah yang bertugas menyebarkan informasi di sekitar kota kelahiran BJ. Habibie. Namun, saat membaca kata kedua dari seorang yang awalnya teman facebook mengirim kata Sticker.

Ia mengajukan kata sticker mungkin karena saya selalu menutupi wajah pakai stiker. Padahal di dunia nyata saya lebih suka menutupi wajah pakai masker.

Dulu, saya seringkali dimarahi oleh Satpam kampus karena kala itu kami dilarang menutup wajah termasuk masker kalau sedang berada di area kampus. Saya paling hobi jalan kaki sambil pakai masker. Hobbi ini sebelum adanya makhluk viral itu. Lalu, kenapa saya pakai masker kala itu? Untuk apa? 

Pertama untuk menghindari debu. Kedua untuk menyembunyikan wajah. Memangnya ada apa dengan wajahmu? Nanti saya bahas. Yang jelas sekarang justeru kita ditegur kalau tidak pakai masker. Dunia terbalik, kan?

Peduli dan Stiker. Dua kata berbeda namun otak kecil ini mengaitkan dua kata itu.

Peduli itu sebenarnya apa sih? Saya lebih penasaran kenapa ia mengungkapkan peduli. Apakah sekarang ia sudah jarang melihat kepeduliaan? Apakah sekarang sudah banyak ketidakpeduliaan? Seperti spiderman Parepare yang kerap kali melihat ketidakpedulian warga terhadap sampah-sampah yang berserakan.

Peduli? Apa yang terlintas dalam benak viewers?

Kalau menurut Hayana peduli itu bisa jadi dalam wujud perhatian dan bisa jadi dalam bentuk mengabaikan.

Maksudnya, Hayana?

Kalau peduli itu disebut perhatian, yaa tentu sudah biasa. Namun, saya pernah melihat seseorang karena ia peduli maka ia mengabaikan.

Maksudnya? Hmm… bagaimana ya menjelaskannya.

***

[Kamis, 01 Juli 2021]

Dua hari saya menjeda tulisan ini, lalu baru lanjut kembali di tempat yang sama dengan orang berbeda.

Tiga wanita asyik berdiskusi mengenai tayangan favorite mereka. Tanyangan favorite readers apa?

Lalu, otak viewers akan otomatis mencari jawabannya meski tak diungkapkan langsung ke Hayana.

Baiklah, kita kembali ke topic.

Peduli.

Tanpa bicara panjang kali lebar, sebenarnya kalian sudah paham dengan kata peduli. Bahkan sebenarnya, setiap orang punya versi masing-masing tentang rasa pedulinya.

Silahkan viewers beritahu ke pengetik, versi peduli apa yang sering kamu lakukan.

Kali ini, saya akan menceritakan versi peduli Hayana.

Ini ada hubungannya dengan stiker.

Karena peduli dengan orang lain, jadi saya sering memakai stiker. Meski, sebenarnya di sisi lain saya yang menjaga perasaanku sendiri.

Maksudnya?

Menjaga perasaanku dari dampak pujian hasil komentar wajahku. Meskipun tidak saya pungkiri, saya akan tetap upload foto wajah di internet.

Lalu apa hubungannya dengan stiker?

Karena saya peduli dengan perasaanku terlebih lagi perasaan setiap viewers yang memandang. Jadinya, setiap kali saya mengupload foto akan saya stiker, meski memang tidak sepenuhnya. Saya tidak ingin, foto wajahku terbayang-terbayang di benak viewers. entah itu pada kaum adam maupun hawa.

Karena ada dua kemungkinan yang bisa muncul?

Suka akan berujung pada kekaguman.

Tidak suka akan berujung pada rasa iri hati.

Mungkin, itulah sebabnya sebaiknya kita sebagai pemilik wajah mesti senantiasa membaca doa bercermin sebagai upaya perlindungan.

Baiklah, kita beralih ke kata selanjutnya.

Senja.

Biasa disebut sunset. Banyak orang yang menyukainya.

Namun, saya pribadi lebih menyukai sunrise dibandingkan sunset.

Mengapa?

Entah mengapa setiap kali melihat sunset, ada kesedihan yang muncul. Sedangkan jika sunrise, muncul rasa harapan, optimis, semangat.

Entah, apa yang terlintas dalam benak pelontar kata senja. Apakah ia menyukai senja? Atau apa. Entahlah. Yang jelas, sunrise dan sunset sekilas memang terlihat sama.

Namun, udaranya sangat membedakan.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang senja. Namun, apa hanya saya saja yang merasa kalau melihat senja bawaannya ingin langsung pulang ke rumah. Jika, tidak bisa pulang maka otomatis saya akan menderita homesick.

Kata selanjutnya yakni lantai.

Seorang teman berkacamata dengan suara ganda (berciri khas) mengirim kata ’lantai’.  Saya hanya langsung teringat dengan lantai kamarnya yang bercorak kayu. Lumayan bagus dipandang apalagi view di luar jendelanya terdapat kincir angin [mirip Belanda] hehe.

Lalu,kenapa ia mengajukan kata lantai? Lantai. Cintai. Tiga huruf di belakangnya apa coba? Hehe.

Lantai mengingatkanku tentang bersujud. Menyembah PadaNYa.

***

[Jum'at, 02 Juli 2021]

Baiklah, saya kembali melanjutkan setelah melewati satu malam.

Masih di tempat yang sama, meski dengan baju, khimar dan hari yang berbeda. Saya akan kembali melanjutkan ketikan yang tertunda ini.

Terakhir, membahas kata lantai.

Barusan dapat chat dari orang yang mengajukan kata lantai. Ia mengirim screenshot lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Namun, lokasi penempatannya di luar Sulawesi Selatan. Saya hanya langsung teringat dengan Negara New Zealand. Sebuah Negara pegunungan, alam yang indah. Rasanya, ingin merantau ke sana. Hehe.

Tapi, mana mungkinlah. Meski, tidak ada hal yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak [kun fayakun].

Ok, kita kembali ke lantai.

Saya kalau punya rumah selanjutjya, juga ingin motif lantainya kayu atau bahkan lantainya dari kayu. Karena suka rumah kayu sihh. Pikiranku kalau rumah kayu, seperti lagi main rumah pohon.

Readers, suka rumah apa ? tapi, apapun bentuk rumah yang penting membawa kedamaian  dan  itu hal yang paling penting.

Baiklah, kata selanjutnya adalah ikhlas bahagia.

Kalau kamu ikhlas maka kamu akan bahagia. Simple sih dituliskan, tapi untuk mewujudkan itu butuh hati yang kuat.

Tetiba, otak ini teringat sebuah tulisan di dinding kos.

“Apapun yang kamu lakukan, Hayana. Lakukan dengan rasa tulus dan ikhlas lalu perhatikan apa yang terjadi”.

seringkali, saya dibuat takjub akan hasil dari kalimat itu. Namun, akhir-akhir ini saya sedang berusaha kembali menerapkan kalimat itu yang sering kali hilang menghilang.

Kuharap, para readers pun berusaha untuk itu. Tidak mudah, namun bukan hal yang tidak mungkin.

Ok, pas cukup seribu kata.

Terima kasih telah setia membaca hingga akhir :)


 

 

 

 

Saturday, February 13, 2021

Cerita Setengah, Eps. 1



Bismillah.

Saat saya ketik ini, saya belum makan malam. Tapi, Alhamdulillah saya sudah makan siang. Yaa, memang saya mengetik ini saat sore hari, menjelang magrib.

Rasanya agak kaku menarikan jari jemariku di atas keyboard setelah hampir sebulan tidak mengetik (menulis) lagi.

Apa yang terjadi pada dirimu Hayana?

Yaa,, karena sibuk dengan rangkaian kata dua puluh ribu kata ilmiah, saya jadi tak menyempatkan waktu untuk mengetik seribu kata ini. Padahal sih, sebenarnya hanya karena manajemen waktuku yang belum baik hingga saya tak kunjung mengetik lagi disini.

Lalu, viewers berpikir… jadi sekarang Hayana tidak sibuk lagi sehingga kembali mengetik seribu kata ini lagi?

Hmmm,,, sepertinya karena membaca buku ‘Happy Writing’ sehingga saya termotivasi kembali untuk menulis (mengetik).

Sungguh, saya sarankan viewers membaca buku itu… kalau ingin menulis tapi belum memulai juga. Penulisnya sangat cerdas dalam mengungkapkan gagasannya. Saya salut.

Lalu, apa yang akan saya ceritakan?

Beberapa menit yang lalu, sang penguasa dapur menyuruh saya memasukkan benang ke dalam lubang jarum kecil. Viewers, tahu kan bagaimana cara memasukkannya?

Yapp… sesuai di pikiran mu. Saya tak ingin mengetikkannya disini. Dari cara tersebut, saya mengamati satu hal. Bahwa benang yang masuk ke dalam jarum harus kuat dulu baru akan berhasil. Pun seperti kita manusia. Kita itu kadang loyoh, lemas, bukan karena tak makan. Bukan itu maksudku. Tapi, kita loyo, lemas, lunglai (eh, bukan iklan) itu karena kita malas.

Kita??? Yaaa, kita. Kalau gak mau kita. Yaudah, saya.

Karena malas, kita jadi tak berhasil mewujudkan apa yang kita rencanakan. Walaupun di satu sisi, saya juga merasa dibalik adanya kegagalan juga menyiratkan hikmah yang penuh makna.

Seperti, saya yang suka gagal menyelesaikan seribu kataku selama seratus delapan puluh hari. Nyatanya, dari kegagalan itu saya jadi berpotensi memiliki jejak tulisan lebih 180 episode. 

Yapp, karena saya suka gagal menulis seribu kata per hari. Di satu sisi yang lain, sebenarnya kalau saya berhasil menuntaskan seribu kata ini lebih awal… maka saya bisa membuat komitmen lain. Misalnya, membuat novel barukah atau buku aneh. Hehe.

Saya ingin sekali punya buku aneh viewers… tepatnya sih, buku unik yang anti mainstream.

Tiga tugas video masih menghantui dalam otakku ini. Entah kenapa, saya malas sekali mengerjakan project video. Tadi, saya mau kerjakan tetapi ternyata headphoneku ketinggalan di kos. Saya butuh benda itu, karena sekarang di rumah (Darussalam house) lagi turun hujan.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Sungguh, malas tak boleh dibiarkan lama menetap dalam jiwa. Pun termasuk anggapan bahwa ‘ini sulit, itu rumit’. Karena sesuatu yang diyakini seperti itu, maka akan benar terjadi adanya. Jadi keraslah pada dirimu sendiri, Hayana. Rajinlah dan atur waktumu. Pun, termasuk kamu viewers.

Bukankah waktu itu takkan pernah kembali?

Hmm…

Saya teringat beberapa moment pekan lalu, di mana saya harus ujian online sampai yudisium online. Namun, moment paling berkesan saat salah satu dosenku meminta saya untuk ikut ke acara Broadcasting Camp. Meskipun sudah menolak 3 kali dengan alasan saya tak tau jalan (ya, memang saya tidak tau meskipun saya pernah kesana. Bisa dibilang saya lupa).

Akhirnya, seorang mahasiswi bersama juniornya yang punya mobil menjemput saya di kos. Pada akhirnya, saya pun memutuskan untuk menerima jemputan itu. Saat itu, saya penasaran… sebenarnya Allah ingin menunjukkan apa padaku hingga situasi seolah mendorongku harus kesana.

Malam itu gerimis, jalan agak jauh dan masuk lorong. Di mobil, saya hanya memperhatikan temenku yang bawa mobil. Menganalisis apa ia sudah lama bawa mobil. Hehe, bukannya takut… Cuma ingin tau saja. Tapi rasa penasaranku itu tidak saya lontarkan dalam bentuk pertanyaan. Saya malah sibuk bertukar informasi dengan temanku yang satunya. 

Kami membahas tentang kampung muallaf di pelosok Pinrang. Dulu, waktu ke sana… saya sempat berpikiran ‘bagusnya tinggal disini mengabdi tanpa social media’ sepertinya hidup akan lebih bermakna. Bukankah kadangkala, social media membuat riuh pikiran kita?

Ok, lanjut… di acara broadcasting camp.

Tiba di lokasi, mataku mencari ibu dosen yang menyuruhku datang. Seorang mahasiswa (junior satu tingkat bawah) menegur untuk singgah duduk bercerita menikmati kopi. Namun, kutolak dengan ucapan ‘saya setor muka dulu’. Yaiyalah, wajahku harus dilihat dulu sama si ibu dosen pengajak. Hehe.

Ibu dosen ternyata berada paling belakang lokasi. Di sana ada sebuah panggung. Saya mendekat sambil melempar senyum meskipun senyumku tak terlihat karena tertutupi masker. Kurasa ekspresi mataku pun tak terlihat karena lampu cukup redup malam itu. Ia sibuk mengatur mahasiswa lain agar merapikan karpet yang akan diduduki nanti oleh peserta lain.

Firasatku berkata, sepertinya nanti saya akan disuruh berbicara di depan mereka. Saya pun membayangkan apakah saya harus berkeliling di antara mereka atau cukup duduk tenang di atas panggung.

Saat mereka sudah berkumpul, saya mencoba mengenali wajah mereka satu persatu. Namun, hanya beberapa orang saja yang saya kenal. Kulihat juga ada Ilham. Seorang mahasiswa yang satu bulan lalu juga saya kunjungi rumahnya bersama bu dosenku (ya, kala itu saya diajak ke daerah pengungsian korban gempa. Betapa dag dig dugnya hatiku saat itu, mengingat gempa masih bisa datang kapan saja). 

Sepulang dari lokasi pengungsian (Majene dan Malunda), kami singgah di rumah Ilham yang berada di Polewali Mandar. Saat ke rumahnya, saya kembali teringat dengan project pembuatan video profil pesantren di tempat itu awal tahun 2020. Saat itu, desas-desus corona yang masuk ke Indonesia mulai terdengar.

Hal yang tak bisa kulupakan di rumah Ilham adalah rasa hangat keluarganya. Saya salut dengan kedua orangtuanya yang memberikan pelayanan terbaik bagi kami di tengah kesederhanaan. Mereka menyajikan durian, rambutan dan nasi ikan ayam (tolong jangan ngiler, hehe). Tapi, saya merasa aura rumah Ilham yang menentramkan sangat terasa dan ternyata itu karena di rumahnya setiap malam… anak-anak di kompleks rumahnya akan berkumpul untuk mengaji. Sungguh, rumah sederhana namun penuh berkah. Semoga Ilham dan keluarganya senantiasa diberkahi dan diridhoi oleh Allah swt. Aamiin.

Oiya, saya juga teringat dengan keponakannya yang imut. Gadis kecil yang sangat sopan. Kenapa? Karena anak kecil itu selalu bilang iye’. Sungguh, menggemaskan. Hehe

Eitss…. Kita kembali ke situasi Broadcasting Camp…

Setelah peserta berkumpul, bu dosen mempersilahkan saya dan Rahmat (junior satu tingkat bawah) untuk berbicara di depan peserta terkait LK Channel. Sungguh, saya kan tidak terlalu aktif di LK Channel (situs akun youtube, wadah para mahasiswa dalam mempublish karya). 

Jadi, saya mempersilahkan Rahmat untuk berbicara lebih awal. Sambil memerhatikan mereka menyimak materi Rahmat, saya berpikir… apa yang harus saya sampaikan di depan mereka? Di saat saya datang tanpa persiapan apa-apa. Otakku berputar-putar mencari ide, kira-kira topic apa yang mesti dibahas sehingga topic itu tidak hanya sekedar berlalu begitu saja? Saya ingin mereka mengingat dan merenungi apa yang saya sampaikan.

Viewers, karena sudah cukup seribu kata… Insyaa Allah, besok saya lanjut lagi yahhh… hehe. Terima kasih sudah setia membaca dari awal hingga akhir J Makna pelajaran apa yang kau temukan?

Tanete, 13 Februari 2021 pukul 17:50 wita.

Oiya, Barakallah fii umrik.. Maharani (tetangga kamar kosku). Doa melangit untuk ta' :)

Saturday, January 16, 2021

Apa?

 

Dokumentasi Pribadi, Mamasa [2018]

Bismillah.

Saat saya tulis ini, Alhamdulillah saya sudah makan. Hal yang sederhana, namun menjadi hal yang serius jika seseorang itu tidak makan. Tentu, para pejabat pemerintah juga harus merasa serius memperhatikan jika ada rakyatnya yang tidak bisa makan karena tidak punya apa-apa. Pun termasuk kita sebagai tetangga rakyat (eh, sesama rakyat).

Memang benar, rakyat harus berusaha sendiri. Namun, kita harus mengingat bahwa siapapun yang bekerja dalam pemerintahan maka mereka adalah pelayan rakyat.

Kenapa? Ah, sepertinya viewers sudah mengerti.

Jemariku berhenti sejenak menyentuh keyboard, lalu menoleh ke arah kiri. Tiga buah jendela terlihat jelas, dua tertutup dan satu terbuka lebar. Jendela yang terbuka itu tepat mengarah pada wajahku ketika saya menoleh kekiri. Udara segar menghampiri wajah, angina juga meniup helaian rambut yang kubiarkan terurai.

Terlihat langit mendung, ingatan tentang para korban bencana gempa di Sulawesi Barat dan bencana bajir di Kalimantan Selatan seolah mengundang rasa khawatir. Beberapa mungkin banjir bantuan, namun beberapa lagi krisis bantuan. Kulihat beberapa postingan di fb yang seolah berteriak meminta tolong. Posko mereka terjebak dan belum dijangkau oleh tim relawan.

Celengan akhirat yang bertebaran di dunia maya seolah juga mengundang pilu. Kenapa? Karena saya belum bisa mengisi setiap celengan akhirat setiap yang kulihat.

Niat hati ikut berbisnis, agar Allah memudahkan diri ini untuk bebas bersedekah sana-sini. Namun, saya teringat dengan gagasan Ippho Santosa (founder komunitas bisnis yang kuikuti) bahwa jangan menunggu kaya untuk bersedekah. Memang benar, seringkali malah saat saya menghabiskan tabunganku untuk bersedekah, Allah mendatangkan tabungan lain. Saya benar-benar seringkali dibuatNya terkagum-kagum. MasyaAllah, Alhamdulillah.

“jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu.. hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal” (Kilas Ayat… Qs. Ali Imran: 160).

Angin bertiup terasa dingin, kulihat hujan akan turun. Meski sebelumnya, hujan turun di pagi hari. Tadi pagi juga, saya berjalan menuju salah satu dosen pemesan Britih Propolis. Sebenarnya saat malam hari, ia menyuruhku membawakannya. Namun, karena hujan turun dan angin kencang… akhirnya saya memutuskan untuk menunda membawakannya.

Selain itu, rasanya saya juga rindu jalan kaki di pagi hari. Kenapa? Hatimu bisa dibuat semakin bersyukur PadaNya, apalagi jika oksigen yang masuk ke dalam hidung adalah oksigen segar. Belum lagi, jika kamu bisa melihat embun yang terlihat menyegarkan sambil dihibur dengan suara harmoni makhluk bersayap yang sibuk bersiul seolah menyapa setiap raga yang mendengarkannya.

Yappp, saya suka udara pagi. Bahkan jika disuruh memilih, saya lebih suka sunrise (matahari terbit) dibandingkan sunset (matahari terbenam). Mungkin, karena pengaruh udaranya… makanya saya jadi lebih suka sunrise.

Sepulang dari mengantarkan British propolis, mendekati pintu pagar kos… saya melihat rumput… namun, kusebut itu bunga karena memang rumput itu memiliki bunga. Namanya putri Malu. Kalau didaerahku disebut Jabe (dalam bahasa Bugis).

Menurutku, tanaman itu unik. Karena punya animasi alami yang bergerak. Coba saja sentuh daunnya, maka kamu akan lihat gerakan secara perlahan. Tapi, saya suka bertanya-tanya… kenapa kalau hujan yang turun, justru daunnya kadang tidak kuncup. Kira-kira kenapa ya?

Apa karena air yang turun secara alami dari langit sehingga tanaman itu tidak bergerak. sungguh, saya penasaran. Hope, kelak saya akan diberitahu kenapa bisa seperti itu.

Layaknya, beberapa pertanyaanku yang sering terbersit dalam hati… secara perlahan saya pun menemukan jawabannya.

Pun, seperti doa-doa kita kadang terkabul bukan disaat kamu berdoa saat itu juga. Terkadang Allah mengabulkannya di waktu yang tepat.

Dulu, saat saya suka ditinggal sendiri di kos (karena teman semua pada pulkam), seringkali hati berbisik.. “kalau saja saya punya teman orang yang jauh rumahnya, pasti saya akan punya teman di rumah kos). Benar saja, lambat laun keinginan itu terwujud. Alhamdulillah, sekarang saya punya banyak teman di kos dan mereka jarang pulkam karena rumahnya lumayan jauh.

Di mana rumahnya?

Di Latimojong, Enrekang. Daerah dingin tempat tumbuhnya bunga Edelweiss (bunga abadi).

Sungguh, keinginan kembali terbersit… bahwa kelak saya ingin berada di puncak gunung latimojong. Sebelumnya, juga sempat terbersit tentang keinginan untuk berkujung di kaki gunung Latimojong.. benar saja lambat laun saya mendapatkan kesempatan ke sana melalui wasilah ajakan bu dosen yang pesan British Propolis itu.

Sepertinya, viewers akan berpikir… ini penulisnya lagi iklan yakkk? Sering kali menyebut British Propolis. Hehe…

Maklum saya, kalau menemukan sesuatu yang bagus maka akan sering kusebut-sebut.

Saya pun juga dalam berjualan sangat selektif kalau memilih produk jualan. Setidaknya pertanyaan tentang apa khasiat produk, bagaimana izin dan kehalalan, serta bagaimana system jualnya harus terjawab dulu. Kalau semuanya aman, halal dan berfaedah, yaudah saya langsung deal. Apalagi foundernya, benar-benar aktif mementoring kami.

Wuahhh… kok saya jadi bahas itu. Hehe, jujur ini supaya tulisannya bisa cepat sampai seribu kata. Walaupun sih, apa yang saya tulis sebelumnya itu beneran… bukan hoax apalagi kalimat hinaan. Iyakan?

Rasanya, bagus juga menulis di jam-jam sore begini. Karena biasanya kalau malam, saya akan sibuk membahas mata-mata berkaca, mata mulai mengantuk. Kadang pula, saya sampai tak konsen bahkan gagal menyelesaikan seribu kataku hanya karena tak sanggup melawan ngantuk. Hehe. Kalian bisa lihat di wattpadku (hayana77) tentang kegagalanku dengan seribu kata. Bikin senyum-senyum sendiri pokoknya kalau dibaca.

Oiya, viewers… apa kamu sudah mulai menulis seperti ini?

Ayolah… dicoba-coba menulis. Minimal ceritakan apa yang kamu lalui setiap hari dan hal positif apa yang bisa dibagikan melalui tulisanmu.

Pun seperti tulisan receh ini, kuharap kalian bisa menangkap sesuatu hal yang positif. Bukan dinyatakan postif yakkk, yah walaupun juga boleh selama itu yang baik-baik. Hehe.

Semoga Allah memberikan kabar bahagia tak terduga, setelah Anda membaca ini. Aamiin.

Sudah di angka delapan ratusan kata, lalu saya menulis apa lagi?

Tunggu… saya memikirkan apa yak judulnya tulisan hari ini. Masalahnya, memang tulisanku topiknya kemana-mana tapi sungguh saya tak peduli. Karena targetku adalah menulis seribu kata per hari… saya tak peduli bagaimana sistematikanya, yang jelas sebisa mungkin bisa tetap menulis seribu kata. Pembiasaan menulis, viewersku.

Lalu, pertanyaannya kapan kamu mulai menulis? Jangan bilang kamu tak pandai menulis. Semua orang bisa menulis, eh maksud saya mengetik juga.

Saya ulangi, “semua orang bisa menulis/mengetik, selama hatinya bisa berbicara meskipun tanpa suara”.

Tapi, muncul pertanyaan “yang cerewet itu apa hati atau otak? Maksudku yang suka berbicara itu sebenarnya siapa? Otak apa hati?”.

Hmmm… silahkan memberi tanggapan viewers bahkan meskipun itu tanggapannya hanya ada di dalam otak dan hatimu. Tentu, saya tak akan tahu karena memang saya bukan Maha Mengetahui. Tapi, saya yakin Allah pasti Maha Mengetahui. Maka berhati-hatilah viewers… dan jangan bersedih karena Allah selalu Mendengarmu.

Ok, pertanyaan saya belum dijawab. Kapan kamu mau konsisten menulis?

Haa? Saya tidak dengar. Eh, saya tidak baca.

Atau kamu sudah menulis tapi saya tidak tau. Yaudah, apapun itu… saya berharap kita semua bisa mendapatkan RidhoNya karena aktivitas baik kita, apapun itu dalam artian apapun yang kita lakukan selama masih bernafas di dunia yang fana ini.

Jika viewers menganggap tulisan receh ini berfaedah silahkan sebarkan agar viewers menjadi jembatan (share) sampainya tulisan ini ke otak yang lain. Namun, jika viewers ingin memberikan tanggapan berupa pertanyaan setuju maupun kritik saran, tentu boleh. Silahkan kirimkan via DM Instagram @hayanaa atau email Hayanaheart@gmail.com.

Terima kasih telah membaca hingga tuntas ‘tak perlu subscribe yakk’ hehe dan maafkan jika ada yang tak berkenang pada segumpal daging (hati). [Parepare, Sabtu 16 Januari 2021]. Hayana J

 

 

Friday, January 15, 2021

Kata Kuadrat

 

Dokumentasi Pribadi, Mamasa [2018]

Bismillah…

Salah satu cara agar kita sadar waktu yakni dengan menulis daily seperti ini. Karena kita akan bisa mengamati apa yang terjadi dalam sehari lalu menuangkan dalam bentuk rangkaian kata, tentu akhiri tulisanmu dengan keterangan tanggal dan waktu. Hal ini juga akan merawat ingatan kita. Yap, seperti tulisan sebelumnya (kemarin).

Kali ini, saya ingin membahas kata ‘tiba-tiba’.

Tiba dan tiba-tiba, tentu memiliki arti yang berbeda meskipun berasal dari kata yang sama. Namun, pengulangan kata sepertinya memberikan makna yang berbeda. Otak ini segera tertuju pada ingatan berbagai postingan tentang duka yang melanda Sulawesi Barat.

Apa yang terjadi?

Sepertinya, viewers sudah tahu dan sudah melihat berbagai postingan yang memperlihatkan kondisi dua kabupaten yakni Majene dan Mamuju. Meskipun sebenarnya di luar pulau Sulawesi, pulau Kalimantan juga terkena musibah yaitu banjir di Kalimantan Selatan. Ketika disebut Kalimantan, pikiran ini tertuju pada abang yang sedang merantau di sana. Meskipun ia tinggal di Kalimantan Timur, tetap saja otak ini menaruh secercah kekhawatiran padanya.

Ok, kita kembali ke kata ‘tiba-tiba’.

‘tiba-tiba’ kata sederhana namun mengandung unsur kecepatan, tak terduga (tak disangka). Ketika kita berada pada situasi ‘tiba-tiba’ bisa jadi sepaket dengan rasa sedih ataupun bahagia.

Namun, situasi ‘tiba-tiba’ yang melanda Sulawesi Barat meninggalkan duka bagi para korban yang terdampak akibat gempa bumi.

Rasanya dulu waktu kecil, bencana hanya sering terjadi di luar pulau Sulawesi tapi kini berbagai bencana menerpa tetangga kabupatenku. Seolah jiwa ini, ikut larut membayangkan bahwa tempatku hidup bisa jadi akan mendapatkan pula ‘situasi tiba-tiba’ yang tak diinginkan.

Situasi ‘tiba-tiba’ bukan hanya menyangkut bencana alam namun juga kehilangan sosok ataupun perubahan diri.

“tiba-tiba baik, tiba-tiba jahat” adalah dua hal yang berbeda namun datangnya bisa jadi memiliki kecepatan yang sama, mungkin.

Semoga kita selalu berada posisi ‘tiba-tiba baik’ artinya bukan karena ada maksud yang tersembunyi namun karena Allah memberikan petunjukNya (hidayahNya) pada kita. Karena, siapa lagi yang akan memberikan petunjuk?

(Tunjukilah Kami Jalan yang Lurus).

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Hujan lembut turun menempa bumi, meski sebelumnya hujan keras yang disertai angin juga turut eksis. Mataku yang mulai berat dikarenakan ‘tiba-tiba’ merasa mengantuk. Namun, kuingat tentang komitmenku seribu kata dalam sehari mesti segera dituntaskan.

Memang, ada banyak hal yang patut dituntaskan bukan hanya soal di dalam diri (internal) tetapi juga di luar diri (eksternal).

Hmmm.. tentang ‘tiba’tiba’

Kejutan apa lagi yang akan diperlihatkan? Tentu, sama sekali saya tak marah dengan pencipta. Namun, Allah bisa saja sebaliknya menjadi murka pada kita jika berkali-kali peringatannya menyapa raga ini. Namun anehnya, kita masih pura-pura tidak sadar.

Kemungkinan terburuk seringkali menghantui dalam otak kecil ini. Namun, keyakinan padaNya mesti dikuatkan akarnya agar hasilnya selalu menemui titik akhir yang terbaik.

Atas segala apapun yang terjadi, tentu kita harus pandai memaknai. Ya, hari ini saya dilintaskan caption bahwa sedih L bisa diubah menjadi senyum J dengan menggunakan lensa pemaknaan. Lalu, di mana bisa mendapatkan lensa itu?

Tentu lensa pemakna ini tidak bisa ditemukan hanya dengan mengandalkan pasar ataupun gugel. Lensa pemakna terbuat dari rasa syukur dan intropeksi.

Dua kata tersebut memang sangat sederhana namun besar manfaatnya. Ketika semua orang memiliki rasa syukur dan senantiasa berintropeksi, sepertinya hidup akan lebih menentramkan meskipun di situasi yang tidak baik-baik saja. Lalu, maukah kamu mewujudkan cita-cita hidup tentram itu? Maka mulailah dari diri sendiri.

‘tiba-tiba’ hujan yang tadinya soft menjadi hard.

Bayangan para relawan yang berjuang membantu para korban disana mengusik pikiran. Hati-hati yang ikut merasa beramai-ramai membuat penggalangan dana secara online dan offline. Saya mencoba menutup mata, lalu kemudian membuka kembali. Akhirnya, saya kembali menemukan mataku yang berkaca-kaca. Seolah rasa ngantuk terus menggodaku untuk menunda tulisan seribu kata ini.

Kali ini, saya benar-benar merasa mengantuk. Namun tulisan ku baru di angka lima ratusan.

Lalu saya harus menulis apa lagi?

Saya memperbaiki posisi duduk, kuharap viewerspun memperbaiki posisi duduk sekarang (jika duduk).

Lalu, viewers…

bagaimana tanggapanmu tentang ‘siatuasi yang tiba-tiba” terjadi kemarin itu?

Saya teringat dengan postingan di facebook tentang kita yang kehilangan tiga hal di awal tahun 2021.

Pertama Bumi (bencana alam), Langit (tragedy pesawat) dan yang ketiga cahaya yakni saat meninggalnya Syekh Ali Jaber yang merupakan salah satu gudang ilmu dan referensi teladan.

Berbagai video ceramahnya di masa hidupnya, hari ini kembali tersebar. Tentu, sungguh beruntunglah seseorang jika raganya telah dimakan ulat, namun amalnya masih terus bertambah. Lalu, apa yang kitak lakukan agar bisa berpeluang mendapatkan amal jariyah?

Hmmm… hal kecil bisa dimulai dengan menulis.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Saya benar-benar bingung dan mengantuk harus menulis apa lagi. Keinginan untuk baring, terbersit.

Jangan baring Hayana!!! Karena saat kau baring maka tulisanmu ini tidak akan selesai.

Lalu saya harus menulis apa lagi?

Bolehkah dengan kalimat pengulangan seperti kata ‘tiba-tiba’ (kata kuadrat).

Nyatanya, jika kita seringkali diberi peringatan seharusnya membuat kita sadar bahwa kita harus berubah menjadi insan yang berpeluang diridhoi OlehNya. Aamiin. Semoga saja

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Bolehkah saya mengulangi?

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.

Jika viewers menganggap tulisan receh ini berfaedah silahkan sebarkan agar viewers menjadi jembatan sampainya tulisan ini ke otak yang lain. Namun, jika viewers ingin memberikan tanggapan maupun kritik saran, tentu boleh. Silahkan kirimkan via DM Instagram @hayanaa atau email Hayanaheart@gmail.com. Terima kasih dan maafkan. [Parepare, Jum’at 15 Januari 2021]

 

 

 

Popular Posts

Translate

"Beloved"

"Beloved"

Followers