Pages

Artikel (Kode Etik): Krisis Kejujuran Hasilkan Potensi Mahasiswa Bernilai Palsu

Artikel ini dibuat dalam rangka partisipasi mengikuti Dakom Award 2016. Lomba blog. Yuk, Baca Selengkapnya...

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare

STAIN Parepare merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri yang ada di kota Parepare. Yuk, Kunjungi Websitenya...

Mari Bersedekah

Yuk, lihat iklan video karya Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Parepare

filsafat islam

Ingin Menjadi Seperti Pohon

Mengapa inging menjadi pohon? Yuk, Baca selengkapnya

Monday, December 21, 2015

Makalah: Antisipasi Konflik dengan Komunikasi Islam





Antisipasi Konflik dengan Komunikasi Islam
Untuk Lomba Karya Tulis Ilmiah DAKOM Awards




   
                 



Oleh:
Hayana
NIM 13.3100.015




PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAREPARE

2015















DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I: PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Konflik dengan Komunikasi Islam dalam Interaksi Sosial
2.2 Epistemologi Komunikasi Islam
2.3 Prinsip-Prinsip Pendekatan Komunikasi  dalam Al-Qur’an
BAB III: PENUTUP
3.1  Kesimpulan
3.2  Saran
Daftar Pustaka

 



BAB I
PENDAHULUAN

  1.1 Latar belakang           
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk warga yang mayoritas penduduknya adalah agama Islam. Namun, walaupun mayoritas Islam artinya sama-sama memiliki kesamaan dalam hal keperyaaan yakni Islam tetapi tidak semata-mata terlepas dari yang namanya konflik.
Dalam karya Dahrendorf, pendirian teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah dinamis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Tetapi menurut Dahrendorf dan teoritisi konflik lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritisi konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disentegrasi dan perubahan.[1] Meski konflik tidak selamanya memberikan dampak negative tetapi juga memberikan dampak positive. Misalnya konflik yang terjadi dalam diskusi kelas.
Data konflik sosial di Indonesia sejak tahun 2010, menurut Gamawan, Pusat Komunikasi dan Informasi (Puskomin) Kemendagri mencatat, tahun 2010 terjadi 93 peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September, Kemendagri mencatat telah 53 peristiwa konflik.[2] Meskipun fakta menunjukkan bahwa jumlah konflik ditahun 2013 mengalami penurunan tetapi konflik sosial merupakan bahaya laten (tersembunyi) yang suatu saat bisa mengalami peningkatan kembali. Konflik yang terjadi tidak selalu berarti kekerasan tetapi juga dalam bentuk non fisik (non kekerasan) seperti ketegangan, perselisihan ataupun kondisi yang tidak nyaman.
Konflik banyak ditemukan pada masyarakat yang multicultural, Indonesia merupakan Negara yang dihuni berbagai macam suku, bangsa, budaya, bahasa dan agama  sehingga potensi konflik sangat besar.[3] Konflik tidak dapat dihindari, tetapi konflik dapat diminimalisir dengan membangun komunikasi yang efektif . Seperti menggunakan komunikasi Islam dalam kehidupan sosial. Komunikasi Islam sebenarnya masih memiliki kesamaan dengan komunikasi pada umumnya (barat) tetapi yang membedakan adalah landasan filosofisnya yakni al-Qur’an dan hadist.













2
 
   
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah “Antisipasi Konflik dengan Komunikasi Islam”. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1.      Bagaimana hubungan konflik dengan komunikasi Islam dalam interaksi sosial?
2.      Bagaimana epistemologi komunikasi Islam?
3.      Bagaimana prinsip-prinsip pendekatan komunikasi  dalam Al-Qur’an?











BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Konflik dengan Komunikasi dalam Interaksi Sosial
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang bergantung. Oleh karena itu, manusia tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk mengatasi kendala yang ada dalam kehidupannya. Tidak berlebihan jika manusia biasa disebut makhluk sosial. dalam menjalani kehidupan sosial tersebut, seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantunya mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan komunikasi merupakan ungkapan yang kemudian dapat menggambarkan cara serta komunikasi tersebut. Secara umum, interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dan orang lain, yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi.[4] Dalam interaksi yang terjadi, ketika komunikasi tidak berjalan sesuai dengan tujuan maka bisa menyebabkan  munculnya konflik.
4
 
Konflik yang disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai dan norma, dan ideologi cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit melahirkan integrasi. Sebaliknya konflik yang didasarkan pada masalah-masalah yang riil akan melahirkan konsensus. Durasi konflik menjadi panjang atau pendek sangat tergantung pada sejauh mana tujuan-tujuan dari masing-masing kelompok didefinisikan terutama oleh para pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi fungsi, konflik mengandung manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau stabilitas struktur maupun sistem sosial, tergantung sejauh mana intensitas komunikasi dan konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik.[5] Misalnya miscommunication merupakan salah satu yang dapat memicu konflik karena adanya kesalahpahaman dalam memahami makna (isi pesan) antara komunikator dan komunikan.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain: faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal negative.[6] Misalnya tindakan peniruan yang menyimpang.  
Jadi suatu konflik berkaitan dengan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam suatu interaksi. Selain itu salah satu syarat interaksi selain kontak sosial adalah komunikasi.

2.2. Epistemologi Komunikasi Islam
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi, epistemology berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge). Menurut Poedjiadi (2001) epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan.[7] Sederhananya epistemology adalah how to get? Bagaimana mendapatkannya.
Kajian epistemologi merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu yang mencakup sumber, metode, esensi, dan validitas kebenaran pengetahuan. Ini sama halnya dengan suatu tata cara, proses dan prosedur yang memungkinkan pencapaian pengetahuan berupa ilmu, dan segala hal menjadi aspek perhatian atau konsistensi dalam mendapatkan pengetahuan yang benar. Jika alur pikir dan penjelasan ini dapat kita pahami, maka epistemology ilmu komunikasi Islam berarti berupa kajian secara filosofis tentang sumber, metode, esensi, dan validitas ilmu komunikasi Islam. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam, sedangkan metode menguraikan tentang cara mendapatkan ilmu tersebut dari sumbernya. Sementara itu, esensi memaparkan tentang hal-hal yang menjadi karakteristik ilmu komunikasi Islam, dan validitasnya menjadi verifikasi komunikasi Islam dari segi keilmuan.[8] Memang komunikasi yang dikembangkan oleh orang-orang barat masih memiliki kesamaan dengan komunikasi Islam. Tetapi yang membedakannya filosofisnya.
Komunikasi didefinisikan oleh DeVito (1986) sebagai proses atau tindakan mengirimkan suatu pesan dari seorang pengirim kepada penerima, melalui satu saluran yang diselingi oleh gangguan. Sementara itu, Gozali (2003) merumuskan komunikasi sebagai berlangsungnya aliran informasi, pertukaran gagasan, atau proses saling berbagi makna diantara pengirim dan penerima.[9] Dalam komunikasi ini juga ada dikenal istilah encoding dan decoding artinya sebelum mengirim pesan ada proses kognitif dan penerima melakukan penafsiran terhadap pesan yang disampaikan kemudian memberikan efek atau pengaruh sehingga ada timbal balik antara komunikator dan komunikan.
                         
Menurut Yusuf Husain, komunikasi Islam adalah proses menyampaikan atau bertukar perutusan dan maklumat dengan menggunakan prinsip dan kaedah yang terdapat dalam Al- Qur’an dan hadis. Terekam dengan jelas bahwa tindakan komunikasi tidak hanya dilakukan terhadap sesama manusia dan lingkungan hidupnya saja, melainkan juga dengan Tuhannya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menggambarkan tentang proses komunikasi. Salah satu diantaranya adalah dialog yang terjadi pertama kali diantara Allah Swt., malaikat, dan manusia. Dialog tersebut sekaligus menggambarkan salah satu potensi manusia yang dianugerahkan Allah Swt. Potensi tersebut dapat dilihat dalam Qs. Al- Baqarah (2) 31-33:

“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannyakepada malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab :’Maha suci Engkau, tidak ada yang Engkau ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah nama-nama benda itu.’ Allah berfirman; ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 31-33)[10]
Dalam komunikasi terdapat istilah retorika. Jika istilah retorika dihubungkan dengan Islam. Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan retorika agama Islam adalah penjelasan yang disampaikan atas nama Islam, untuk mengajak mereka kepada Islam, atau mengajarkan keislaman, dan mendidik mereka secara akidah dan syariah, ibadah dan muamalah, serta pemikiran dan tingkah laku.[11] Meski pengertian retorika terkadang dianggap negative, seolah-olah retorika merupakan propoganda seni dengan kata-kata yang indah tetapi mengabaikan kebenaran isinya. Padahal retorika yang baik adalah dimana pesannya mengandung unsur kebenaran.
Rancangan epistemik ilmu komunikasi Islam, dari segi sumber, metode, dan kevalidan kegunaan akan kebenaran sudah tidak diragukan lagi. Ilmu komunikasi Islam diharapkan sangat banyak bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia, karena ia terkait dengan nilai normatifitas, yakni komunikasi yang menggunakan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah komunikasi yang terdapat dalam Al- Qur’an dan hadis. Prinsip komunikasi Islam bukan hanya sekedar penyampaian pesan dan mengubah sikap dan perilaku komunikan, namun yang terpenting kemaslahatan dan kemuliaan antara komunikator dan komunikan.[12] Maka inilah yang membedakan konsep komunikasi Islam dengan komunikasi Barat.

2.3 Prinsip- Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an
Prinsip-prinsip pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata dalam Al-Qur’an beserta tafsirannya meliputi:
2.3.1 Qawlan Adhima
Kata-kata yang mengandung qawlan adhima terekam dalam al-Quran pada Qs. Al-Isra : 40

“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” Qs. Al-Isra : 40
“Sesungguhnya kamu mengucapkan kata-kata yang besar”, dalam ayat tersebut diartikan sebagai “kata-kata” atau “ucapan yang banyak mengandung kesalahan dan kebohongan atau tidak memiliki dasar sama sekali”.[13] Penafsiran ayat tersebut bahwa kita tidak boleh berbohong dalam menyampaikan suatu pesan (berkomunikasi dengan orang lain) karena kata-kata yang mengandung kebohongan dan tuduhan sangatlah dibenci oleh Allah Swt. Perkataan yang keluar dari mulut kita haruslah selalu mengandung kebenaran.

2.3.2 Qawlam Baligha (Ucapan yang Fasih)



Kata qawlam baligha tersebut dalam al- Qur’an hanya disebut satu kali, yaitu dalam Qs. Al- Nisa (4) : 63 sebagaimana berikut:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah dari mereka, dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka”.
Menurut M. Quraisy Syihab, ayat tersebut mengibaratkan hati mereka (orang-orang munafik dan yang cenderung kepada kekafiran) sebagai wadah ucapan yang harus diperhatikan sehingga apa yang dimaksukkan ke dalamnya sesuai, bukan saja dalam segi jumlahnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang harus diasah dengan ucapan-ucapan halus dan ada yang harus dihentakkan dengan kalimat-kalimat keras atau ancaman yang menakutkan.[14] Perlu diperhatikan cara dan waktu penyampaian pesan kepada orang lain. Misalnya perhatikan suasana hatinya atau dengan menggunakan intonasi (nada suara) dalam situasi yang tepat.

2.3.3 Qawlan Karima (Ucapan Mulia)



Ungkapan qawlan karima ini terindentifikasi dalam Qs. Al- Isra’ (17) : 23, seperti berikut:
“Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain (diri-Nya) dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Ayat di atas menuntut agar apapun yang disampaikan kepada orangtua bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja yang sesuai dengan adat dan kebiasaan yang baik dalam masyarakat, tetapi juga yang diiringi dengan terbaik dan yang termulia. Dan kalaupun seandainya orangtua melakukan “kesalahan” terhadap anak maka kesalahan tersebut harus dianggap taka da atau dimaafkan ( dalam arti dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya), bagaimanapun juga, tidak ada orangtua yang bermaksud buruk pada anaknya. Demikianlah, makna “kariman” yang dipesankan kepada anak dalam menghadapi orangtuanya.[15] Seperti yang diketahui, konflik bisa saja muncul dengan orang yang terdekat termasuk keluarga. Misalnya seorang anak yang berkonflik dengan orang tuanya seperti yang pernah terjadi di dunia entertainment Arumi Bachin (artis) yang sempat berkonflik dengan ibundanya.

2.3.4 Qawlan Layyina (Ucapan yang Lemah Lembut)



            Qawlan layyina tersebut terdapat dalam Qs. Thaha : 44 seperti berikut:
“Maka berbicaralah kamu kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
M. Quraisy Syihab mengemukakan, layyina berarti lemah lembut, tidak mengandung antipasti atau amarah. Dengan dasar itu, al-Maragi memaknakan dengan perkataan yang tidak keras dan kasar. Qawlan Layyina sebenarnya merupakan sebuah bentuk perkataan yang bermotif dakwah.[16] Berbicara kepada orang lain dengan lemah lembut akan memberikan rasa kenyamanan dan saling memahami. Sehingga kita dapat terhindar dari konflik yang dapat berujung dengan pertikaian.

2.3.5 Qawlam Maysura (Ucapan yang Pantas)



Allah berfirman dalam Qs. Al- Isra : 28, seperti berikut ini:
 “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”.
Qawlam Maysura digunakan apabila yang menjadi sasaran atau lawan berbicara adalah kaum kerabat, orang-orang miskin dan ibnu sabil yang suatu ketika berbicara dengan mereka, sementara tidak memiliki kemampuan untuk memberikan hak-haknya berupa materi yang karenanya, hak-hak itu diganti dengannya (ucapan-ucapan yang pantas). Qawlam Masyura dapat dimaknakan sebagai ucapan-ucapan yang secara psikis dan logika, mampu memberi spirit dan semangat yang menggembirakan terhadap seseorang untuk suatu waktu dapat hidup lebih makmur dan sejahtera. Ucapan-ucapan seprti itulah yang pantas senantiasa harus diuntaikan, teristimewa antar para pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan, yang secara tingkat kehidupan ekonomi tampak berbeda, ada yang yang tergolong berkemampuan da nada yang tergolong kurang berkemampuan.[17] Misalnya antara orang kaya dan miskin. Si kaya yang memberikan semangat agar giat bekerja keras dalam mencari rezeki tanpa menghina si miskin.

2.3.6 Qawlam Ma’rufan (Ucapan yang Baik)



Ungkapan qawlam ma’rufan dalam Al-Qur’an terungkap dalam beberapa ayat seperti Qs. Al-Baqarah:235, Qs. Al- Nisa’:5 dan Qs. Al-Nisa’: 8. Tetapi yang berkaitan dengan antisipasi konflik dapat dilihat dalam Qs. Al-Nisa’ : 5, seperti berikut ini:
 
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Ayat tersebut diatas,  lebih berkonotasi pada pembicaraan-pembicaraan yang pantas bagi seseorang yang belum dewasa atau cukup akalnya atau orang-orang dewasa, tetapi tergolong bodoh. Karena jika dilihat secara psikologis tipe orang tersebut lebih menggunakan perasaan emosi daripada logika dan pikirannya. Juga sekaligus menempatkan manusia pada posisi yang tertinggi dan terhormat, karena selalu mengingatkan tentang pentingnya sebuah komunikasi yang baik untuk memelihara hubungan yang harmonis antar sesama.[18] Maka dari itu, akan lebih baik jika dalam berkomunikasi dengan orang lain senantiasa mencupkan kata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan orang lain.

2.3.7 Qawlan Saddidan (Ucapan yang Benar)
Kata qawlan saddidan tersebut dalam al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu dalam Qs. Al- Ahzab: 70 danQs. Al- Nisa: 9.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. Al- Nisa: 9).
Menurut M. Quraisy Syihab, kata Sadidan dalam ayat tersebut tidak sekedar berarti benar, tetapi juga berarti tepat sasaran. Dalam konteks ini, keadaan sebagai kanak-kanak yang lemah (anak yatim) pada hakikatnya berbeda dengan anak-anak kandung sendiri, yang hal itu menjadikan mereka selalu dalam keadaan kondisi psikis peka dan sensitive, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih berhati-hati dan kalimat-kalimat yang lebih terpilih, bukan saja kandungannya yang benar, tetapi juga yang tepat. Karena itu kalau menegur atau memberi informasi kepada mereka, jangan sampai teguran atau informasi itu menimbulkan kekeruhan dalam hati mereka. Dengan kata lain, bahwa hendaknya informasi atau teguran yang disampaikan sekaligus bersifat meluruskan kesalahan dan bersifat membina mereka.[19] Misalnya dalam kehidupan sosial, ketika ada masalah yang muncul, seorang tokoh masyarakat (tokoh agama) memberikan solusi atau membina mereka agar masalah dapat dihadapi dengan cara yang baik dan benar tanpa menimbulkan konflik.

2.3.8 Qawlan Salama (Ucapan yang Menentramkan)


Manifestasi kata salam digambarkan dalam Qs. Al- Furqan: 63, sebagai berikut:
 
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”.
Menurut Mujahid, yang dituju kata salam ialah sadidum minal qawl (perkataan yang benar, tepat, pantas dan sedap). Karena itu menurutnya, hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah yang selalu tampil dengan perlakuan hulama (pribadi-pribadi yang murah hati), yang menurut al- Hasan, yaitu mereka yang walaupun orang-orang jahiliah menyapanya, tetap menyambutnya dengan ucapan yang baik, benar dan sedap.[20] Misalnya dalam sebuah desa, tidak semua warga desanya beragama Islam. Namun, meski berbeda agama, kita harus tetap berkomunikasi dengan mereka tentunya dengan ucapan yang baik dan benar (sopan).





















BAB III
PENUTUP 
3.1 Kesimpulan
Setelah membahas pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
3.1.1             Konflik yang disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai dan norma, dan ideologi cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit melahirkan integrasi. Sebaliknya konflik yang didasarkan pada masalah-masalah yang riil akan melahirkan konsensus. Durasi konflik menjadi panjang atau pendek sangat tergantung pada sejauh mana tujuan-tujuan dari masing-masing kelompok didefinisikan terutama oleh para pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi fungsi, konflik mengandung manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau stabilitas struktur maupun sistem sosial, tergantung sejauh mana intensitas komunikasi dan konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik. Misalnya miscommunication merupakan salah satu yang dapat memicu konflik karena adanya kesalahpahaman dalam memahami makna (isi pesan) antara komunikator dan komunikan.            

3.1.2 epistemology ilmu komunikasi Islam berarti berupa kajian secara filosofis tentang sumber, metode, esensi, dan validitas ilmu komunikasi Islam. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam, sedangkan metode menguraikan tentang cara mendapatkan ilmu tersebut dari sumbernya. Sementara itu, esensi memaparkan tentang hal-hal yang menjadi karakteristik ilmu komunikasi Islam, dan validitasnya menjadi verifikasi komunikasi Islam dari segi keilmuan.
3.1.3             Prinsip-prinsip pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata dalam Al-Qur’an, diantaranya: qawlan adhima, qawlam baligha (ucapan yang fasih), qawlan karima (ucapan mulia), qawlan layyina (ucapan yang lemah lembut), qawlam maysura (ucapan yang pantas), qawlam ma’rufan (ucapan yang baik), qawlan saddidan (ucapan yang benar), qawlan salama dan (ucapan yang menentramkan).

3.2 Saran
Komunikasi Islam masih membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dan pengaplikasian secara nyata dalam kehidupan sehar-hari. Melihat dari dampak negative yang ditimbulkan oleh suatu konflik, maka dengan melakukan penerapan komunikasi Islam dalam interaksi sosial  dapat meminimalisir konflik yang terjadi. Sehingga hidup penuh dengan kedamaian antara sesame umat manusia.










Daftar Pustaka


Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, ( Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2010),  h. 162.

Bambang Ma’arif,  Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 33

George Ritzer Douglas, Teori Sosiologi Modern ,( Jakarta: Kencana, 2007),  h. 153

Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 22

Soerjono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1982),  h. 57

Susanto,  Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 136

Wahyu Illaihi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h . 131

Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika Islam, (Jakarta Timur: Khalifah, 2004),  h. 1

Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal

http://www.kompasiana.com/jayuputrapratama/indonesia-darurat-konflik_552965436ea834ac128b458f

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=242294729266618&id=232586356904122








18
 
 



[1] George Ritzer Douglas, Teori Sosiologi Modern ,( Jakarta: Kencana, 2007),  h. 153
[2]https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=242294729266618&id=232586356904122
[3] http://www.kompasiana.com/jayuputrapratama/indonesia-darurat-konflik_552965436ea834ac128b458f
[4] Wahyu Illaihi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h . 131
[5] Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, ( Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2010),  h. 162.
[6] Soerjono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1982),  h. 57
[7] Susanto,  Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 136
[8] Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal
[9] Bambang Ma’arif,  Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 33
[10] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),  h. 1
[11] Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika Islam, (Jakarta Timur: Khalifah, 2004),  h. 1
[12] Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal
[13] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I,  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),  h. 171
[14] Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 22
[15] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I,  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),  h. 176
[16] Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 21
[17] Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 20
[18] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I,  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),  h. 184
[19] Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 18
[20] Nasri Hamang  Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 8

Popular Posts

Translate

"Beloved"

"Beloved"

Followers