Pages

Artikel (Kode Etik): Krisis Kejujuran Hasilkan Potensi Mahasiswa Bernilai Palsu

Artikel ini dibuat dalam rangka partisipasi mengikuti Dakom Award 2016. Lomba blog. Yuk, Baca Selengkapnya...

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare

STAIN Parepare merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri yang ada di kota Parepare. Yuk, Kunjungi Websitenya...

Mari Bersedekah

Yuk, lihat iklan video karya Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Parepare

filsafat islam

Ingin Menjadi Seperti Pohon

Mengapa inging menjadi pohon? Yuk, Baca selengkapnya

Monday, February 21, 2022

Air Cokelat With Corona

 



Bismillah...

Sebenarnya saya tak tau akan cerita tentang apa. Tapi, saya ingin mengembalikan kebiasaan mengetik seribu kata per hari. Yaa, sebenarnya sih itu komitmen sejak 2019 lalu.

Saya akan bercerita tentang apa yaa?

Hmmm.... mari kita bercerita tentang bumi ini.

Dahulu kala.... 

eh, dahulu waktu saya masih kecil sekitar tahun dua ribuan bencana banjir, gempa, longsor, angin puting beliung hanya saya temukan di tivi. Tapi, beberapa tahun terakhir... bencana itu justeru terjadi di sekitar wilayahku.

Hari ini, beranda status whatsAppku dipenuhi dengan status tentang banjir. Ya, khususnya teman WA ku yang tinggal di daerah kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Saat hujan turun sehari semalam... air akan ikut naik. Seolah air dari langit sudah tak dapat lagi diserap oleh tanah.

Kenapa kira-kira?

Ada apa dengan tanah kita? Mengapa ia sudah tak ingin menerima air dari langit itu?

Tunggu dulu, bukankah manusia gemar menutupi tanah dengan semen? Bukankah manusia gemar menebang pohon dan menggantikannya dengan beragam bangunan beton?

Anggaplah pepohonan ditebang untuk BTN. Tapi, pernahkah BTN dihancurkan untuk menanam pepohonan?

Kita sering menghilangkan pepohonan secara besar-besaran, seolah kita tak butuh fungsi dari pepohonan itu. Oksigen dari mana coba?

Tunggu dulu, sebenarnya kita sudah tau akan tentang itu tapi masih saja ditebang untuk kebutuhan kita.

Serba salah juga kan?

Tapi, kasihan juga yaa bumi... jika semua pepohonan dimusnahkan.

Meski pada dasarnya, lebih kasihanlah kita para manusia... akan menerima dampak dari punahnya pepohonan.

Coba amati baik-baik lingkungan kita sekarang.

Esok, jika kamu bertemu pagi... duduk atau berdiri, pandangilah alam kita.

Bagaimana alam kita akan marah saat kita merusak kealamiannya secara over user.

Air tergenang di bawah kolom tempat tidur, kaki mengeriput karena air. Tangan kedinginan, perut selalu lapar meski otak selalu berpikir jijik sekali airnya. Itu airnya menyatu dari air saluran got.

Banjir bisa jadi anjir.

Hmm....

Sepertinya, temanku yang merasakan pasti lebih paham daripada saya yang hanya melihat.

Astagfirullah... perbanyak istighfar dan intropeksi atas kelakukan kita.

Memangnya kita turut andil dalam banjir ini?

Tunggu, saat kamu sering buang sampah sembarangan kamu sudah turut andil (sekecil itu). bahkan saat kita over pakai tissu pun turut andil. Apa hubungannya? Ya, karena tissu dibuat dari serat pohon.

Anak-anak kecil senang air cokelat itu (banjir), katanya asik bisa main air sepuasnya.

Tapi, para pedagang, angkutan umum, pekerja kantoran, para penghuni rumah tangga berbeda perasaanya. Mereka risau atas ketidaknormalan lingkungan ini.

Pun, anak remaja yang hobbi beraktivitas di luar akan merasa galau juga.

Apapun itu, semoga semuanya akan baik-baik saja. Aamiin.

***

Setelah bercerita Air Cokelat/banjir, mari kita bercerita tentang corona. Makhluk viral yang meresahkan banyak kalangan pihak, meski di kalangan tertentu dianggap membawa berkah tersendiri.

Corona datang dengan 2 dampaknya, hal baik dan hal buruk.

Kalau bukan karena corona, upaya memaksimalkan pembelajaran online takkan terwujud. Tapi, hal buruknya... (ah, kurasa readers punya anggapannya masing-masing).

Kalau begitu, mari kita berbicara tentang lockdown. Imbas dari adanya makhluk viral itu.

Apa yang kamu pikirkan dengan kata lockdown?

Hal yang terlintas di otak kecil ini yakni tak bisa kemana-mana.

Tapi, karena tak bisa kemana-mana... semestinya bisa mengerjakan sesuatu yang tak bisa dikerjakan saat kita sedang kemana-mana.

Kira-kira apa itu?

Tolong cari sendiri dan lakukan.

*yang baik-baik yakkk?

Ketikan ini kuakhiri saat adzan sholat isya mulai berkumandang.

Sampai ketemu esok. Hope, tetap bisa meluangkan waktu mengetik rangkaian kata walaupun belum cukup seribu kata.

Meskipun juga tulisan ini agak garing, semoga saja tetap bisa memetik sesuatu yang berfaedah. Sekecil apapun itu.

#Terima kasih, telah membaca hingga akhir :)

Parepare, 21 Februari 19.37 wita.

Salam sejuk, @hayanaaa.

 

 

 

Friday, February 18, 2022

Tanya: Suka Ko atau Ki ?



Terlintas di otak kecil...

Ini tentang Ko dan Ki.

Di Sulawesi Selatan 2 huruf itu sangat populer dan menjadi ciri khas komunikasi bagi komunikatornya.

Dulu, saya sering berbicara Ko baik pada teman ataupun kakak kandung sendiri. Tapi, akhiran dua  huruf Ko tak pernah digunakan untuk sepasang manusia yang membuat kita ada di dunia ini, atas IzinNya. Termasuk tak pernah pula terlontar kepada guru-guru yang mengajari kita.

Ko memang terkesan kasar dan Ki lebih terkesan sopan.

Tunggu dulu, sepertinya pembaca dari luar pulau Sulawesi agak bingung.

Apa maksud Ko dan Ki?

Begini, pembaca setiaku.

Ketika seseorang mengajak makan, biasanya kalimat yang dilontarkan “Mari makan atau Ayo makan”.

Namun, di Sulawesi khususnya Sulawesi  Selatan. Perkataan yang diucapkan bisa menjadi “Makanki/Manreki” ataupun bahasa daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan.

Tambahan akhiran ki pada makan, menunjukkan rasa sopan. Saya juga tidak tau, kenapa orang dulu menambahkan Ki atau Ko? Kalau ada yang tau, silahkan beritahu saya di Hayanaheart@gmail.com.

Makanko biasa diucapkan ke orang yang lebih muda dari pengucapnya ataupun teman sebaya.

Sedangkan makanki biasa diucapkan ke orang-orang yang lebih dituakan atau dihormati lebih.

Namun, sebenarnya ketika ada orang yang berucap menggunakan akhiran Ko bukan berarti ia tidak menghargaimu. Hanya saja, ia sudah terbiasa berbahasa menggunakan akhiran Ko. Jadi, hindari ketersinggungan di hati kecilmu. hehe

Memasuki bangku perkuliahan dengan seragam bebas, raga ini mulai membiasakan diri berbicara menggunakan akhiran Ki kepada semua orang, terkecuali abang saya (kakak kandung).

Ya, kuulangi lagi. Berbicara Ko padanya bukan berarti saya merendahkan. Hanya saja menghindari rasa canggung ketika berbicara dengannya. Namanya juga sudah kebiasaan.

Teman sebaya yang berbicara akhiran Ko itu menunjukkan rasa akrab, rasa saling menerima, meskipun kita para pemilik telinga yang selalu mendengar ucapan Ki akan merasa “kok kasar ya,” padahal bagi mereka itu bisa jadi hubungan komunikasi mereka berada di level ‘akrab, karib’.

Meskipun tidak dipungkiri bahwa orang-orang yang sedang merasa marah pada orang lain, mereka akan menggunakan kata-kata yang berakhiran Ko.

Ki dan Ko bukan Kiko yaa.

Ki dan Ko tak pernah bertemu pada rangkaian kalimat yang sama.

Penggunaan Ki dan Ko disesuaikan berbicara dengan Siapa?

Dan juga penggunaanya dipengaruhi kebiasaan penuturnya.

Apakah ia terbiasa menggunakan Ki ataupun Ko.

Yang jelas, seseorang yang terbiasa berbicara Ko pada akhirnya akan berbicara Ki ketika bertemu dengan orang yang dianggap harus dihormati lebih?

Lalu, bisakah kita sedikit mengubah?

Mengutamakan berbicara Ki pada semua orang, jenis usia (baik atau muda), kaya atau cukup, pupuler ataupun unpopuler?

Saat kamu berbicara Ki pada anak kecil, apa yang akan terjadi?

Secara tak sengaja, anak kecil itu akan belajar bahwa saat kita berbicara harus menggunkan akhiran Ki. Ada sistem copy paste dalam otak anak kecil.

Bukankah itu hal baik?

#Sederhana tapi bermakna

 

 

Terima kasih telah membaca hingga akhir J @hayanaaa. Salam sejuk.

Parepare, Sabtu 19 Februari 2022 pukul 06:53 Wita.


=============

Karena sesuatu yang fullfaedah, tak boleh dirahasiakan :)









 

Popular Posts

Translate

"Beloved"

"Beloved"

Followers