Untuk Lomba
Karya Tulis Ilmiah DAKOM Awards
Oleh:
Hayana
NIM
13.3100.015
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAREPARE
2015
DAFTAR ISI
Daftar
Isi
BAB I:
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
1.2
Rumusan
Masalah
BAB II:
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Konflik dengan Komunikasi Islam dalam
Interaksi Sosial
2.2 Epistemologi Komunikasi Islam
2.3 Prinsip-Prinsip Pendekatan Komunikasi dalam Al-Qur’an
BAB III:
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
Daftar Pustaka |
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Negara Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki penduduk warga yang mayoritas penduduknya adalah
agama Islam. Namun, walaupun mayoritas Islam artinya sama-sama memiliki
kesamaan dalam hal keperyaaan yakni Islam tetapi tidak semata-mata terlepas dari
yang namanya konflik.
Dalam karya Dahrendorf, pendirian
teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Menurut para fungsionalis,
masyarakat adalah dinamis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara
seimbang. Tetapi menurut Dahrendorf dan teoritisi konflik lainnya, setiap
masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis menekankan
keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan
konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen
masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritisi konflik melihat
berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disentegrasi dan perubahan.[1]
Meski konflik tidak selamanya memberikan dampak negative tetapi juga memberikan
dampak positive. Misalnya konflik yang terjadi dalam diskusi kelas.
Data konflik sosial di Indonesia
sejak tahun 2010, menurut Gamawan, Pusat Komunikasi dan Informasi (Puskomin)
Kemendagri mencatat, tahun 2010 terjadi 93 peristiwa konflik. Sementara pada
tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013
hingga awal September, Kemendagri mencatat telah 53 peristiwa konflik.[2]
Meskipun fakta menunjukkan bahwa jumlah konflik ditahun 2013 mengalami
penurunan tetapi konflik sosial merupakan bahaya laten (tersembunyi) yang suatu
saat bisa mengalami peningkatan kembali. Konflik yang terjadi tidak selalu
berarti kekerasan tetapi juga dalam bentuk non fisik (non kekerasan) seperti
ketegangan, perselisihan ataupun kondisi yang tidak nyaman.
Konflik banyak ditemukan pada
masyarakat yang multicultural, Indonesia merupakan Negara yang dihuni berbagai
macam suku, bangsa, budaya, bahasa dan agama
sehingga potensi konflik sangat besar.[3]
Konflik tidak dapat dihindari, tetapi konflik dapat diminimalisir dengan
membangun komunikasi yang efektif . Seperti menggunakan komunikasi Islam dalam
kehidupan sosial. Komunikasi Islam sebenarnya masih memiliki kesamaan dengan
komunikasi pada umumnya (barat) tetapi yang membedakan adalah landasan
filosofisnya yakni al-Qur’an dan hadist.
|
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah “Antisipasi
Konflik dengan Komunikasi Islam”. Untuk memberikan kejelasan makna serta
menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi
pada :
1. Bagaimana hubungan konflik dengan komunikasi Islam
dalam interaksi sosial?
2. Bagaimana epistemologi komunikasi Islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip pendekatan komunikasi dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan
Konflik dengan Komunikasi dalam Interaksi Sosial
Pada dasarnya, manusia
adalah makhluk yang bergantung. Oleh karena itu, manusia tidak bisa hidup
secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk mengatasi kendala yang
ada dalam kehidupannya. Tidak berlebihan jika manusia biasa disebut makhluk
sosial. dalam menjalani kehidupan sosial tersebut, seseorang memerlukan sebuah
fasilitas serta cara untuk membantunya mempermudah dirinya untuk masuk pada
ranah sosial tersebut. Interaksi dan komunikasi merupakan ungkapan yang
kemudian dapat menggambarkan cara serta komunikasi tersebut. Secara umum,
interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan
antara seseorang dan orang lain, yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek
komunikasi.[4]
Dalam interaksi yang terjadi, ketika komunikasi tidak berjalan sesuai dengan
tujuan maka bisa menyebabkan munculnya
konflik.
|
Berlangsungnya suatu
proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain: faktor imitasi,
sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak
sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Imitasi dapat
mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.
Namun demikian imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal negative.[6]
Misalnya tindakan peniruan yang menyimpang.
Jadi suatu konflik
berkaitan dengan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam
suatu interaksi. Selain itu salah satu syarat interaksi selain kontak sosial
adalah komunikasi.
2.2. Epistemologi Komunikasi Islam
Istilah epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme yang
berarti pengetahuan, dan logos yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi,
epistemology berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan yaitu teori pengetahuan (theory
of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge).
Menurut Poedjiadi (2001) epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang pengetahuan.[7]
Sederhananya epistemology adalah how to get? Bagaimana
mendapatkannya.
Kajian epistemologi
merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu yang mencakup sumber, metode,
esensi, dan validitas kebenaran pengetahuan. Ini sama halnya dengan suatu tata
cara, proses dan prosedur yang memungkinkan pencapaian pengetahuan berupa ilmu,
dan segala hal menjadi aspek perhatian atau konsistensi dalam mendapatkan
pengetahuan yang benar. Jika alur pikir dan penjelasan ini dapat kita pahami,
maka epistemology ilmu komunikasi Islam berarti berupa kajian secara filosofis
tentang sumber, metode, esensi, dan validitas ilmu komunikasi Islam. Sumber
menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam, sedangkan metode menguraikan
tentang cara mendapatkan ilmu tersebut dari sumbernya. Sementara itu, esensi
memaparkan tentang hal-hal yang menjadi karakteristik ilmu komunikasi Islam, dan
validitasnya menjadi verifikasi komunikasi Islam dari segi keilmuan.[8]
Memang komunikasi yang dikembangkan oleh orang-orang barat masih memiliki
kesamaan dengan komunikasi Islam. Tetapi yang membedakannya filosofisnya.
Komunikasi
didefinisikan oleh DeVito (1986) sebagai proses atau tindakan mengirimkan suatu
pesan dari seorang pengirim kepada penerima, melalui satu saluran yang
diselingi oleh gangguan. Sementara itu, Gozali (2003) merumuskan komunikasi
sebagai berlangsungnya aliran informasi, pertukaran gagasan, atau proses saling
berbagi makna diantara pengirim dan penerima.[9]
Dalam komunikasi ini juga ada dikenal istilah encoding dan decoding artinya
sebelum mengirim pesan ada proses kognitif dan penerima melakukan penafsiran
terhadap pesan yang disampaikan kemudian memberikan efek atau pengaruh sehingga
ada timbal balik antara komunikator dan komunikan.
Menurut Yusuf Husain,
komunikasi Islam adalah proses menyampaikan atau bertukar perutusan dan
maklumat dengan menggunakan prinsip dan kaedah yang terdapat dalam Al- Qur’an
dan hadis. Terekam dengan jelas bahwa tindakan komunikasi tidak hanya dilakukan
terhadap sesama manusia dan lingkungan hidupnya saja, melainkan juga dengan
Tuhannya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menggambarkan tentang proses
komunikasi. Salah satu diantaranya adalah dialog yang terjadi pertama kali
diantara Allah Swt., malaikat, dan manusia. Dialog tersebut sekaligus
menggambarkan salah satu potensi manusia yang dianugerahkan Allah Swt. Potensi
tersebut dapat dilihat dalam Qs. Al- Baqarah (2) 31-33:
“Dan dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannyakepada malaikat
lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu
orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab :’Maha suci Engkau, tidak ada yang
Engkau ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai
Adam, beritahukanlah nama-nama benda itu.’ Allah berfirman; ‘Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan.” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 31-33)[10]
Dalam komunikasi
terdapat istilah retorika. Jika istilah retorika dihubungkan dengan Islam.
Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan retorika agama Islam adalah penjelasan yang
disampaikan atas nama Islam, untuk mengajak mereka kepada Islam, atau
mengajarkan keislaman, dan mendidik mereka secara akidah dan syariah, ibadah
dan muamalah, serta pemikiran dan tingkah laku.[11]
Meski pengertian retorika terkadang dianggap negative, seolah-olah retorika
merupakan propoganda seni dengan kata-kata yang indah tetapi mengabaikan
kebenaran isinya. Padahal retorika yang baik adalah dimana pesannya mengandung
unsur kebenaran.
Rancangan epistemik
ilmu komunikasi Islam, dari segi sumber, metode, dan kevalidan kegunaan akan
kebenaran sudah tidak diragukan lagi. Ilmu komunikasi Islam diharapkan sangat
banyak bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia, karena ia terkait dengan
nilai normatifitas, yakni komunikasi yang menggunakan prinsip-prinsip dan
kaedah-kaedah komunikasi yang terdapat dalam Al- Qur’an dan hadis. Prinsip
komunikasi Islam bukan hanya sekedar penyampaian pesan dan mengubah sikap dan
perilaku komunikan, namun yang terpenting kemaslahatan dan kemuliaan antara
komunikator dan komunikan.[12]
Maka inilah yang membedakan konsep komunikasi Islam dengan komunikasi Barat.
2.3 Prinsip- Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an
Prinsip-prinsip
pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata dalam Al-Qur’an beserta
tafsirannya meliputi:
2.3.1 Qawlan Adhima
Kata-kata yang mengandung qawlan adhima terekam dalam al-Quran pada Qs.
Al-Isra : 40
“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang dia
sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya
kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” Qs. Al-Isra : 40
“Sesungguhnya kamu mengucapkan kata-kata yang besar”, dalam ayat tersebut
diartikan sebagai “kata-kata” atau “ucapan yang banyak mengandung kesalahan dan
kebohongan atau tidak memiliki dasar sama sekali”.[13]
Penafsiran ayat tersebut bahwa kita tidak boleh berbohong dalam menyampaikan
suatu pesan (berkomunikasi dengan orang lain) karena kata-kata yang mengandung
kebohongan dan tuduhan sangatlah dibenci oleh Allah Swt. Perkataan yang keluar
dari mulut kita haruslah selalu mengandung kebenaran.
2.3.2 Qawlam Baligha (Ucapan yang Fasih)
Kata qawlam baligha tersebut dalam al- Qur’an hanya disebut satu kali, yaitu dalam Qs. Al- Nisa (4) : 63 sebagaimana berikut:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah dari mereka, dan berilah mereka pelajaran dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka”.
Menurut M. Quraisy Syihab, ayat tersebut mengibaratkan hati mereka
(orang-orang munafik dan yang cenderung kepada kekafiran) sebagai wadah ucapan yang
harus diperhatikan sehingga apa yang dimaksukkan ke dalamnya sesuai, bukan saja
dalam segi jumlahnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang harus
diasah dengan ucapan-ucapan halus dan ada yang harus dihentakkan dengan
kalimat-kalimat keras atau ancaman yang menakutkan.[14]
Perlu diperhatikan cara dan waktu penyampaian pesan kepada orang lain. Misalnya
perhatikan suasana hatinya atau dengan menggunakan intonasi (nada suara) dalam
situasi yang tepat.
2.3.3 Qawlan Karima (Ucapan Mulia)
Ungkapan qawlan karima ini terindentifikasi dalam Qs. Al- Isra’ (17) : 23, seperti berikut:
“Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
(diri-Nya) dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Ayat di atas menuntut agar apapun yang disampaikan kepada orangtua bukan
saja yang benar dan tepat, bukan saja yang sesuai dengan adat dan kebiasaan
yang baik dalam masyarakat, tetapi juga yang diiringi dengan terbaik dan yang
termulia. Dan kalaupun seandainya orangtua melakukan “kesalahan” terhadap anak
maka kesalahan tersebut harus dianggap taka da atau dimaafkan ( dalam arti
dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya), bagaimanapun juga,
tidak ada orangtua yang bermaksud buruk pada anaknya. Demikianlah, makna “kariman”
yang dipesankan kepada anak dalam menghadapi orangtuanya.[15]
Seperti yang diketahui, konflik bisa saja muncul dengan orang yang terdekat
termasuk keluarga. Misalnya seorang anak yang berkonflik dengan orang tuanya
seperti yang pernah terjadi di dunia entertainment Arumi Bachin (artis) yang
sempat berkonflik dengan ibundanya.
2.3.4 Qawlan Layyina (Ucapan yang Lemah Lembut)
Qawlan layyina tersebut terdapat dalam Qs. Thaha : 44 seperti berikut:
“Maka berbicaralah kamu kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
M. Quraisy Syihab mengemukakan, layyina berarti
lemah lembut, tidak mengandung antipasti atau amarah. Dengan dasar itu,
al-Maragi memaknakan dengan perkataan yang tidak keras dan kasar. Qawlan
Layyina sebenarnya merupakan sebuah bentuk perkataan yang bermotif dakwah.[16] Berbicara kepada
orang lain dengan lemah lembut akan memberikan rasa kenyamanan dan saling memahami.
Sehingga kita dapat terhindar dari konflik yang dapat berujung dengan
pertikaian.
2.3.5 Qawlam Maysura
(Ucapan yang Pantas)
Allah berfirman dalam Qs. Al- Isra : 28, seperti berikut ini:
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk
memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada
mereka ucapan yang pantas”.
Qawlam Maysura digunakan apabila
yang menjadi sasaran atau lawan berbicara adalah kaum kerabat, orang-orang miskin
dan ibnu sabil yang suatu ketika berbicara dengan mereka, sementara tidak
memiliki kemampuan untuk memberikan hak-haknya berupa materi yang karenanya,
hak-hak itu diganti dengannya (ucapan-ucapan yang pantas). Qawlam Masyura
dapat dimaknakan sebagai ucapan-ucapan yang secara psikis dan logika, mampu
memberi spirit dan semangat yang menggembirakan terhadap seseorang untuk suatu
waktu dapat hidup lebih makmur dan sejahtera. Ucapan-ucapan seprti itulah yang
pantas senantiasa harus diuntaikan, teristimewa antar para pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan, yang secara tingkat kehidupan ekonomi tampak berbeda,
ada yang yang tergolong berkemampuan da nada yang tergolong kurang
berkemampuan.[17] Misalnya antara orang
kaya dan miskin. Si kaya yang memberikan semangat agar giat bekerja keras dalam
mencari rezeki tanpa menghina si miskin.
2.3.6 Qawlam Ma’rufan
(Ucapan yang Baik)
Ungkapan qawlam ma’rufan dalam Al-Qur’an terungkap dalam beberapa ayat seperti Qs. Al-Baqarah:235, Qs. Al- Nisa’:5 dan Qs. Al-Nisa’: 8. Tetapi yang berkaitan dengan antisipasi konflik dapat dilihat dalam Qs. Al-Nisa’ : 5, seperti berikut ini:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Ayat tersebut diatas,
lebih berkonotasi pada pembicaraan-pembicaraan yang pantas bagi
seseorang yang belum dewasa atau cukup akalnya atau orang-orang dewasa, tetapi
tergolong bodoh. Karena jika dilihat secara psikologis tipe orang tersebut
lebih menggunakan perasaan emosi daripada logika dan pikirannya. Juga sekaligus
menempatkan manusia pada posisi yang tertinggi dan terhormat, karena selalu
mengingatkan tentang pentingnya sebuah komunikasi yang baik untuk memelihara
hubungan yang harmonis antar sesama.[18] Maka dari itu, akan
lebih baik jika dalam berkomunikasi dengan orang lain senantiasa mencupkan
kata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan orang lain.
2.3.7 Qawlan Saddidan
(Ucapan yang Benar)
Kata qawlan saddidan tersebut dalam al-Qur’an
sebanyak dua kali, yaitu dalam Qs. Al- Ahzab: 70 danQs. Al- Nisa: 9.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(Qs. Al- Nisa: 9).
Menurut M. Quraisy Syihab, kata Sadidan dalam
ayat tersebut tidak sekedar berarti benar, tetapi juga berarti tepat sasaran.
Dalam konteks ini, keadaan sebagai kanak-kanak yang lemah (anak yatim) pada
hakikatnya berbeda dengan anak-anak kandung sendiri, yang hal itu menjadikan
mereka selalu dalam keadaan kondisi psikis peka dan sensitive, sehingga
membutuhkan perlakuan yang lebih berhati-hati dan kalimat-kalimat yang lebih
terpilih, bukan saja kandungannya yang benar, tetapi juga yang tepat. Karena
itu kalau menegur atau memberi informasi kepada mereka, jangan sampai teguran
atau informasi itu menimbulkan kekeruhan dalam hati mereka. Dengan kata lain,
bahwa hendaknya informasi atau teguran yang disampaikan sekaligus bersifat
meluruskan kesalahan dan bersifat membina mereka.[19] Misalnya dalam
kehidupan sosial, ketika ada masalah yang muncul, seorang tokoh masyarakat
(tokoh agama) memberikan solusi atau membina mereka agar masalah dapat dihadapi
dengan cara yang baik dan benar tanpa menimbulkan konflik.
2.3.8 Qawlan Salama
(Ucapan yang Menentramkan)
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”.
Menurut Mujahid, yang dituju kata salam ialah sadidum
minal qawl (perkataan yang benar, tepat, pantas dan sedap). Karena itu
menurutnya, hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut ialah yang selalu tampil dengan perlakuan hulama
(pribadi-pribadi yang murah hati), yang menurut al- Hasan, yaitu mereka yang
walaupun orang-orang jahiliah menyapanya, tetap menyambutnya dengan ucapan yang
baik, benar dan sedap.[20] Misalnya dalam sebuah
desa, tidak semua warga desanya beragama Islam. Namun, meski berbeda agama,
kita harus tetap berkomunikasi dengan mereka tentunya dengan ucapan yang baik
dan benar (sopan).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah membahas pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan, sebagai berikut:
3.1.1
Konflik yang
disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai dan norma, dan ideologi
cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit melahirkan integrasi.
Sebaliknya konflik yang didasarkan pada masalah-masalah yang riil akan
melahirkan konsensus. Durasi konflik menjadi panjang atau pendek sangat
tergantung pada sejauh mana tujuan-tujuan dari masing-masing kelompok
didefinisikan terutama oleh para pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi
fungsi, konflik mengandung manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau
stabilitas struktur maupun sistem sosial, tergantung sejauh mana intensitas
komunikasi dan konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik.
Misalnya miscommunication merupakan salah satu yang dapat memicu konflik
karena adanya kesalahpahaman dalam memahami makna (isi pesan) antara
komunikator dan komunikan.
3.1.3
Prinsip-prinsip
pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata dalam Al-Qur’an,
diantaranya: qawlan adhima, qawlam baligha (ucapan yang fasih), qawlan karima
(ucapan mulia), qawlan layyina (ucapan yang lemah lembut), qawlam maysura (ucapan yang pantas), qawlam
ma’rufan (ucapan yang baik), qawlan saddidan (ucapan yang benar), qawlan salama
dan (ucapan yang menentramkan).
3.2 Saran
Komunikasi Islam masih
membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dan pengaplikasian secara nyata
dalam kehidupan sehar-hari. Melihat dari dampak negative yang ditimbulkan oleh
suatu konflik, maka dengan melakukan penerapan komunikasi Islam dalam interaksi
sosial dapat meminimalisir konflik yang
terjadi. Sehingga hidup penuh dengan kedamaian antara sesame umat manusia.
Daftar
Pustaka
Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam
Sosiologi, ( Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2010), h. 162.
Bambang Ma’arif, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 33
George Ritzer Douglas, Teori
Sosiologi Modern ,( Jakarta: Kencana, 2007), h. 153
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I,
(Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 22
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 1982), h. 57
Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2014), h. 136
Wahyu Illaihi, Komunikasi
Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h . 131
Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika
Islam, (Jakarta Timur: Khalifah, 2004),
h. 1
Darta Sitepu. 2012. Jurnal
Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM,
pada tanggal
http://www.kompasiana.com/jayuputrapratama/indonesia-darurat-konflik_552965436ea834ac128b458f
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=242294729266618&id=232586356904122
|
[1] George Ritzer Douglas, Teori Sosiologi
Modern ,( Jakarta: Kencana, 2007), h. 153
[2]https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=242294729266618&id=232586356904122
[3]
http://www.kompasiana.com/jayuputrapratama/indonesia-darurat-konflik_552965436ea834ac128b458f
[4] Wahyu Illaihi, Komunikasi Dakwah, Cet.
I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h . 131
[5] Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, (
Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2010), h. 162.
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 1982), h. 57
[7] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2014), h. 136
[8] Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi
dalam Perspektif Islam. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM,
pada tanggal
[9] Bambang Ma’arif, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 33
[10] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet.
I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),
h. 1
[11] Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika Islam, (Jakarta
Timur: Khalifah, 2004), h. 1
[12] Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi
dalam Perspektif Islam. Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM,
pada tanggal
[13] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet.
I, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 171
[14] Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I,
(Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 22
[15] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet.
I, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 176
[16] Nasri Hamang
Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan
Press), h. 21
[17] Nasri Hamang
Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan
Press), h. 20
[18] Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet.
I, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 184
[19] Nasri Hamang
Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan
Press), h. 18
[20] Nasri Hamang
Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan
Press), h. 8
0 comments:
Post a Comment