Bismillah…
[Senin, 28 Juni 2021]
Sebenarnya
kemarin saya ingin mengetik ini tapi karena ada satu amanah yang deadline.
Jadinya saya memilih menunda ketikan ini.
Alhamdulillah,
saat saya mengetik ini saya tidak kepanasan. Meski agak kurang nyaman karena
saya mengetik ini tanpa meja yang biasa saya gunakan. Belum lagi punggung ini,
tidak bersandar. Ya sudah kita abaikan itu dan terus mengetik saja.
Matahari
bersinar cerah, meski saya tidak melihatnya sekarang. Udara terasa sejuk meski
sedang tidak berada di puncak gunung. Ya, sekarang saya berada dalam ruangan
berAc dengan warna dinding biru laut. Meski kemarin-kemarin saya merasa rindu
pasir paputo, menyebut kata laut rindu itu kembali muncul.
Saat
mengetik ini, saya sedang bersama 3 teman baruku. 2 orang asyik dengan
gedgetnya dan 1 lagi asik dengan tidurnya (katanya sih habis dari vaksin).
Sungguh, setiap orang itu seperti buku yang membawa pelajarannya masing-masing.
Baiklah,
hari ini saya akan bercerita sesuai dengan request kata my viewers entah itu
dari di Instagram maupun di WhatsApp.
Kata
pertama, dari seorang berkacamata, ahli ambil gambar dan mengedit juga. Ia
mengajukan kata Peduli. Saat membaca kata itu, yang terlintas malah instansi TV
Peduli :D sebuah media pemerintah yang bertugas menyebarkan informasi di
sekitar kota kelahiran BJ. Habibie. Namun, saat membaca kata kedua dari seorang
yang awalnya teman facebook mengirim kata Sticker.
Ia
mengajukan kata sticker mungkin karena saya selalu menutupi wajah pakai stiker.
Padahal di dunia nyata saya lebih suka menutupi wajah pakai masker.
Dulu, saya seringkali dimarahi oleh Satpam kampus karena kala itu kami dilarang menutup wajah termasuk masker kalau sedang berada di area kampus. Saya paling hobi jalan kaki sambil pakai masker. Hobbi ini sebelum adanya makhluk viral itu. Lalu, kenapa saya pakai masker kala itu? Untuk apa?
Pertama untuk menghindari debu. Kedua untuk
menyembunyikan wajah. Memangnya ada apa dengan wajahmu? Nanti saya bahas. Yang
jelas sekarang justeru kita ditegur kalau tidak pakai masker. Dunia terbalik,
kan?
Peduli
dan Stiker. Dua kata berbeda namun otak kecil ini mengaitkan dua kata itu.
Peduli
itu sebenarnya apa sih? Saya lebih penasaran kenapa ia mengungkapkan peduli.
Apakah sekarang ia sudah jarang melihat kepeduliaan? Apakah sekarang sudah
banyak ketidakpeduliaan? Seperti spiderman Parepare yang kerap kali melihat
ketidakpedulian warga terhadap sampah-sampah yang berserakan.
Peduli?
Apa yang terlintas dalam benak viewers?
Kalau
menurut Hayana peduli itu bisa jadi dalam wujud perhatian dan bisa jadi dalam
bentuk mengabaikan.
Maksudnya,
Hayana?
Kalau
peduli itu disebut perhatian, yaa tentu sudah biasa. Namun, saya pernah melihat
seseorang karena ia peduli maka ia mengabaikan.
Maksudnya?
Hmm… bagaimana ya menjelaskannya.
***
[Kamis, 01 Juli 2021]
Dua
hari saya menjeda tulisan ini, lalu baru lanjut kembali di tempat yang sama
dengan orang berbeda.
Tiga
wanita asyik berdiskusi mengenai tayangan favorite mereka. Tanyangan favorite
readers apa?
Lalu,
otak viewers akan otomatis mencari jawabannya meski tak diungkapkan langsung ke
Hayana.
Baiklah,
kita kembali ke topic.
Peduli.
Tanpa
bicara panjang kali lebar, sebenarnya kalian sudah paham dengan kata peduli.
Bahkan sebenarnya, setiap orang punya versi masing-masing tentang rasa
pedulinya.
Silahkan
viewers beritahu ke pengetik, versi peduli apa yang sering kamu lakukan.
Kali
ini, saya akan menceritakan versi peduli Hayana.
Ini
ada hubungannya dengan stiker.
Karena
peduli dengan orang lain, jadi saya sering memakai stiker. Meski, sebenarnya di
sisi lain saya yang menjaga perasaanku sendiri.
Maksudnya?
Menjaga
perasaanku dari dampak pujian hasil komentar wajahku. Meskipun tidak saya pungkiri,
saya akan tetap upload foto wajah di internet.
Lalu
apa hubungannya dengan stiker?
Karena
saya peduli dengan perasaanku terlebih lagi perasaan setiap viewers yang memandang.
Jadinya, setiap kali saya mengupload foto akan saya stiker, meski memang tidak
sepenuhnya. Saya tidak ingin, foto wajahku terbayang-terbayang di benak
viewers. entah itu pada kaum adam maupun hawa.
Karena
ada dua kemungkinan yang bisa muncul?
Suka
akan berujung pada kekaguman.
Tidak
suka akan berujung pada rasa iri hati.
Mungkin,
itulah sebabnya sebaiknya kita sebagai pemilik wajah mesti senantiasa membaca
doa bercermin sebagai upaya perlindungan.
Baiklah,
kita beralih ke kata selanjutnya.
Senja.
Biasa
disebut sunset. Banyak orang yang menyukainya.
Namun,
saya pribadi lebih menyukai sunrise dibandingkan sunset.
Mengapa?
Entah
mengapa setiap kali melihat sunset, ada kesedihan yang muncul. Sedangkan jika
sunrise, muncul rasa harapan, optimis, semangat.
Entah,
apa yang terlintas dalam benak pelontar kata senja. Apakah ia menyukai senja?
Atau apa. Entahlah. Yang jelas, sunrise dan sunset sekilas memang terlihat sama.
Namun,
udaranya sangat membedakan.
Tidak
banyak yang bisa kuceritakan tentang senja. Namun, apa hanya saya saja yang
merasa kalau melihat senja bawaannya ingin langsung pulang ke rumah. Jika, tidak
bisa pulang maka otomatis saya akan menderita homesick.
Kata
selanjutnya yakni lantai.
Seorang
teman berkacamata dengan suara ganda (berciri khas) mengirim kata ’lantai’. Saya hanya langsung teringat dengan lantai
kamarnya yang bercorak kayu. Lumayan bagus dipandang apalagi view di luar
jendelanya terdapat kincir angin [mirip Belanda] hehe.
Lalu,kenapa
ia mengajukan kata lantai? Lantai. Cintai. Tiga huruf di belakangnya apa coba?
Hehe.
Lantai
mengingatkanku tentang bersujud. Menyembah PadaNYa.
***
[Jum'at, 02 Juli 2021]
Baiklah,
saya kembali melanjutkan setelah melewati satu malam.
Masih
di tempat yang sama, meski dengan baju, khimar dan hari yang berbeda. Saya akan
kembali melanjutkan ketikan yang tertunda ini.
Terakhir,
membahas kata lantai.
Barusan
dapat chat dari orang yang mengajukan kata lantai. Ia mengirim screenshot
lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Namun, lokasi penempatannya di luar
Sulawesi Selatan. Saya hanya langsung teringat dengan Negara New Zealand. Sebuah
Negara pegunungan, alam yang indah. Rasanya, ingin merantau ke sana. Hehe.
Tapi,
mana mungkinlah. Meski, tidak ada hal yang tidak mungkin jika Allah sudah
berkehendak [kun fayakun].
Ok,
kita kembali ke lantai.
Saya
kalau punya rumah selanjutjya, juga ingin motif lantainya kayu atau bahkan
lantainya dari kayu. Karena suka rumah kayu sihh. Pikiranku kalau rumah kayu,
seperti lagi main rumah pohon.
Readers,
suka rumah apa ? tapi, apapun bentuk rumah yang penting membawa kedamaian dan itu hal yang paling penting.
Baiklah,
kata selanjutnya adalah ikhlas bahagia.
Kalau
kamu ikhlas maka kamu akan bahagia. Simple sih dituliskan, tapi untuk
mewujudkan itu butuh hati yang kuat.
Tetiba,
otak ini teringat sebuah tulisan di dinding kos.
“Apapun
yang kamu lakukan, Hayana. Lakukan dengan rasa tulus dan ikhlas lalu perhatikan apa
yang terjadi”.
seringkali,
saya dibuat takjub akan hasil dari kalimat itu. Namun, akhir-akhir ini saya
sedang berusaha kembali menerapkan kalimat itu yang sering kali hilang menghilang.
Kuharap,
para readers pun berusaha untuk itu. Tidak mudah, namun bukan hal yang tidak
mungkin.
Ok,
pas cukup seribu kata.
Terima kasih telah setia membaca hingga akhir :)